Jakarta, Aktual.com – Keberadaan Peraturan Daerah (Perda) atau aturan berbasis syariah Islam dan Injil dinilai normal di Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi dari kebebasan berekspresi dan otonomi daerah.
Hal ini dikemukakan oleh Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens kepada awak media di Jakarta, Sabtu (24/11).
Boni menilai, politik berbasis agama lahir dari Reformasi 1998. Perda Syariah sendiri disebutnya lahir dari Undang-undang Nomor 22 tentang Peraturan Daerah, yang mengatur adanya desentralisasi, dan Pilkada langsung.
Perda Syariah, lanjutnya, muncul sebagai ekspresi dari kebebasan rezim lokal di dalam menentukan dan mengatur daerahnya.
“Dalam konteks itulah muncul Perda Perda yang melekat pada konteks kedaerahan, yang mayoritas muslim dengan Perda Syariah, lalu sempat muncul wacana Perda injil di beberapa tempat seperti di NTT dan juga di Papua, di Manokwari muncul belakangan,” jelas Boni.
Menurutnya, hal ini menjadi dinamika baru di dalam demokrasi Indonesia karena ada hukum agama yang kemudian dimasukkan ke dalam hukum negara, meskipun sebelumnya terdapat UU Perkawinan yang diadopsi dari hukum agama pada 1974.
“Saya melihat tidak ada masalah sejauh itu tetapi kemudian menjadi masalah ketika muncul belakangan sangat agresif kelompok-kelompok yang ingin memperjuangkan khilafah yang ingin memperjuangkan model politik lain yang berbeda dengan apa yang ditetapkan di dalam Pancasila,” paparnya.
Boni mengakui, penguatan politik kanan memang tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah menjadi tren global. Hal ini, jelasnya, merupakan antitesis dari hegemoni demokrasi liberal yang memicu ketimpangan sosial, khususnya di negara dunia ketiga.
“Dan munculnya politik identitas salah satu upaya untuk mencari respect dan pengakuan terhadap keberadaan suatu kelompok masyarakat, saya kira itu yaitu normal. Tetapi yang menjadi masalah di Indonesia adalah politisasi terhadap identitas (di Indonesia) ini kebablasan,” ujarnya.
Boni beranggapan hal ini terjadi karena adanya momentum yang dimanfaatkan oleh para politisi berjubah agama untuk kepentingan Pemilu.
Ia menyebut dikotomi kelompok Islam dan anti-Islam serta munculnya santri postmodernis sebagai cerminan dari balasnya politik identitas di tanah air.
“Semua dikaitkan ke agama digigit takan agama Artinya bahwa ini bukan lagi perkara politik identitas dalam pengertian yang positif ini sudah bicara soal pelacuran terhadap identitas,” tegasnya.
Dengan demikian, Boni menganggap diskusi pada hari ini tidak terfokus pada ucapan Grace Natalie yang menolak Perda Syariah dan Injil, melainkan harus terfokus pada melanggengkan Pancasila sebagai dasar negara.
“Karena dalam proses politik beberapa tahun terakhir kekuatan politik yang memiliki sanksi agama sudah menjadi arus baru yang cukup kuat dan tren politisasi agama ini kebangkitan politik identitas ini bisa pada titik tertentu ke depan bisa menggeser demokrasi Pancasila dengan model yang lain” urainya seraya menutup.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan