Jakarta, Aktual.com —  Tantangan perekonomian Indonesia ke depan semakin berat seperti pengaruh sentimen global seperti kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) dan serta dampak gagal bayar utang Yunani. Belum lagi masalah fundamental Indonesia sendiri, kurs rupiah terkesan tidak percaya diri, enggan naik.

“Rupiah dalam krisis, mengikuti krisis penyelenggaraan perekonomian nasional. Stabilitas nilai Rupiah terancam, perekonomian dalam bahaya  morat-marit. Pemutusan Hubungan Kerja meningkat. Perbankan tetap bersikap ‘tidak mau rugi,” ujar pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, di Jakarta, Jumat (26/6).

Dikatakan lebih lanjut, saat ini Perusahaan pribumi satu demi satu goyah dan bahkan tidak sedikit yang berguguran.

“Yang goyah tidak mampu bayar bunga sudah diancam oleh perbankan. Utang L/C valuta asing dan peluang ekspor yang menyempit menjerat pula pengusaha pribumi, tukang-tukang tadahnya pun sudah disiapkan perbankan kapitalistik,” terangnya.

Menurutnya, Perbankan tersuap oleh kapitalisme, bahkan sebentar lagi  bakal ada transfer pemilikan dari pribumi ke nonpribumi akan makin intensif.

“Perbankan Indonesia untuk siapa, apa kerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memuliakan misi kemerdekaan, mengapa Bank Indonesia berpangku tangan terhadap OJK yang membiarkan ketidakadilan ekonomi,” terangnya.

Dikatakannya, Bank-bank sekarang sudah lupa daratan. Ketika perbankan dilanda krisis moneter 1998 karena kerakusan dan ketidak jujurannya, Negara-lah yang menolong mereka dengan BLBI, Obligasi Rekap, MSAA, Release&Dicharge, Subsidi Bunga, ratusan sampai ribuan  triliun akan menjadi ancaman abadi masa depan.

“Kebijakan ekonomi moneter telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Intinya bangsa ini bunuh-diri, tenggelam ke dalam suicidal syndrome, membiarkan proses aborijinisasi diri,” tambahnya.

OJK merasa mencorong, mampu memfasilitasi masuknya globalisasi pasar-bebas ke prrekonomian nasional. Tidak terdengar OJK prihatin dengan transfer pemilikan dari pribumi ke nonpribumi.

“Di situ usaha pribumi tergilas globalisasi yang mereka kagumi. Apa untungnya OJK, begitu tanya para pengusaha pribumi yang menunggu gulung tikar,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka