Jakarta, aktual.com – Pertiwi Indonesia memprakarsai dialog yang bertema Merajut Kebhinnekaan ‘Kita Bisa Apa’ di The Goodrich Hotel, Jakarta yang bertujuan memberikan masukan positif terhadap upaya merajut kembali kebhinnekaan Indonesia yang terkoyak. Hal ini merupakan wujud kepedulian Pertiwi Indonesia yang prihatin atas gencarnya penyebaran dan penyusupan faham radikal yang berpotensi memecah kerukunan bangsa.
“Dialog yang mengangkat isu Kebhinnekaan ini sangat penting dan perlu kita pahami demi menjaga kerukunan hidup dalam keberagaman agama, etnis dan budaya,” kata Putri K. Wardani, Ketua Umum Pertiwi Indonesia, melalui siaran persnya di Jakarta, Jumat (21/6).
Dialog ini menghadirkan pembicara yang aktif dalam upaya memperkuat kebhinnekaan di tanah air yaitu; Dr. Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, M.Si., perempuan pengamat militer dan intelijen; Prof. Sumanto Al Qurtuby, Direktur Nusantara Institute dan Penggiat Kebhinnekaan; dan Brigjen Pol Ir. Hamli, M.E. Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Dr. Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, M.Si, dalam pemaparannya, memfokuskan perhatiannya pada rentannya perempuan Indonesia dijadikan target radikalisasi yang penyebaran dan penyusupannya makin mengkhawatirkan. “Faktor agama, sosial dan kultural yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan subordinat menjadi sebab utama,” kata Dr. Susaningtyas
Menurut perempuan pengamat militer dan intelijen ini, perempuan-perempuan tersebut direkrut dan diinvestasikan melalui pernikahan di mana secara sosial perempuan dipandang sekadar objek yang harus patuh dan tunduk sepenuhnya terhadap pasangannya. “Mereka kemudian mendapat indoktrinasi bahwa ideologi pancasila dan sistem demokrasi adalah buatan thoghut sebagai faktor untuk meneguhkan legitimasi agama,” tambahnya.
“Dengan kultur patriarki di Indonesia yang menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan subordinat. Maka perempuan Indonesia akan lebih mudah menjadi terpapar radikalisme, terutama perempuan di pedesaan yang dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah” ujar Susaningtyas. Ia menambahkan, perlunya meningkatkan upaya internalisasi nilai kesetaraan dan keadilan gender, agar perempuan Indonesia dapat lebih berdaya melawan dominasi kultur patriarki.
Sementara itu, Prof Sumantho Al Qurtuby dalam paparannya yang berjudul Merayakan Keragaman Tanpa Intoleransi dan Kekerasan, menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar Indonesia saat ini adalah bagaimana masyarakatnya bisa merayakan keragaman atau kebhinnekaan tanpa diiringi sikap dan tindakan intoleransi dan kekerasan.
Direktur Nusantara Institute dan dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, ini menuturkan, “Hal ini penting untuk ditegaskan mengingat saat ini muncul berbagai kelompok agama, ideologi, dan politik intoleran dan radikal lantaran antipati terhadap kebhinnekaan,” ujarnya.
Sumantho, yang juga penggiat kebhinnekaan ini, menjelaskan bahwa mereka inilah yang sekarang berupaya mengenyahkan pluralitas itu atas nama supremasi agama, ideologi, etnis, suku, klan atau ras tertentu. “Tak jarang dalam upayanya menenggelamkan pluralitas itu, mereka menggunakan cara-cara kekerasan yang brutal dan tidak manusiawi,” katanya, menambahkan. Pluralitas menurut Sumantho merupakan kenyataan dan fakta sejarah yang ada di Indonesia saat ini dan harus disikapi secara tepat, untuk itu Sumantho menilai sikap terbaik dalam menyikapi pluralitas adalah dengan menumbuhkan pluralisme kultural di masyarakat.
“Pluralisme kultural adalah pandangan atau sikap toleran-pluralis dalam menyikapi pluralitras kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Dalam konteks Indonesia, batasannya adalah Pancasila, Konstitusi UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika . Dengan demikian “pluralisme kultural” itu bisa diterapkan sepanjang produk-produk kebudayaan itu tidak bertentangan dengan bangunan filosofi dasar dan konstitusi negara serta prinsip-prinsip fundamental toleransi-pluralisme yang menjadi fondasi bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat di Indonesia,” papar Sumantho.
Sementara Direktur Pencegahan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme/BNPT, Brigjen Pol Ir Hamli, M.E., menjelaskan bahwa fenomena kemajuan teknologi yang pesat memberikan dampak positif namun pasti ada ekses negatifnya, termasuk mudahnya paparan radikalisme dan terorisme hanya melalui aplikasi online media sosial.
Hamli menekankan pentingnya filter terhadap informasi yang didapatkan melalui sosial media. “Kita perlu memahami dampaknya dan sesegera mungkin mendeteksi jika di lingkungan kita terjadi fenomena maupun perubahan ke arah yang negatif.
Ia mencontohkan, adanya eksklusivitas suatu kelompok dalam suatu lingkungan, juga perlu mendapatkan perhatian warga. “Kultur masyarakat kita yang guyub dan kumpul, jika melihat ada yang memisahkan diri sampai membuat kelompok baru yang eksklusif hingga orang luar tidak boleh masuk, seharusnya harus membuat waspada dan segera melaporkan kepada pihak yang berwenang,” ujar Hamli.
BNPT sendiri berupaya melaksanakan semua tanggungjawab dengan hati yang diimplementasikan pada program kerja BNPT yaitu dengan memilih jalan non kekerasan. Hal ini dapat dilakukan dalam prinsip kerjasama dengan organisasi keagamaan moderat yang memproduksi counter narasi radikalisasi. “Pencegahan di media social melalui pembatasan dinilai tidak efektif untuk menangkal tumbuhnya radikalisme, yang harus dilakukan adalah meningkatkan kemampuan literasi masyarakat Indonesia,” katanya, menegaskan.
Putri K. Wardani menegaskan bahwa ibu-ibu sebagai tonggak pembentuk karakter di lingkungan rumah dan tempat tinggal, perlu turun dan membantu Pemerintah dalam memerangi radikalisme. “Kami berharap anggota Pertiwi Indonesia yang mencapai 18 ribu orang dapat menjadi agent of change kebhinnekaan di di lingkungannya masing-masing sehingga dapat membantu mewujudkan Indonesia yang aman dan damai,” kata Putri menambahkan.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin