Saat ini kata dia, banyak juga yang terjebak dalam pragmatisme, dalam arti yaitu ingin hasil cepat tanpa usaha, ingin kaya tapi malas bekerja, dan ingin gelar tapi tidak belajar. Termasuk di politik, ada yang tiba-tiba populer tanpa sosialisasi.

“Itu adalah tantangan nilai. Maka HMI dan KOHATI harus memegang teguh nilai perjuangan. Saya percaya, KOHATI akan terus menjaga nilai-nilai itu, dan saya yakin dalam setiap usaha InsyaAllah akan sampai,” tuturnya.

Jawab dengan Prestasi

Sebagai narasumber seminar, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hj.Himmatul Aliyah,S.Sos.,M.Si, menyampaikan bahwa pentingnya perempuan untuk terus meningkatkan kapasitas dan tidak membiarkan diri dilemahkan oleh stigma maupun anggapan yang merendahkan.

“Jangan mau dilemahkan oleh orang lain. Jangan mau mendengar kata-kata yang mematahkan semangat kita. Jawab dengan prestasi,” tegas Himmatul.

Ia juga menegaskan bahwa perempuan harus dinilai dari kapasitas dan kemampuan, bukan semata-mata dari penampilan. Ia menolak anggapan yang merendahkan peran perempuan dalam politik. Ia menegaskan bahwa setiap perempuan memiliki kemampuan diplomasi dan kepemimpinan yang layak untuk diperhitungkan.

Baginya, keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia memang menunjukkan kemajuan, tetapi masih belum berbanding lurus dengan keberdayaan politik perempuan secara keseluruhan. Saat ini, dari 580 kursi DPR RI, sebanyak 127 di antaranya diisi oleh perempuan.

“Nomor urut itu tidak otomatis membawa kemenangan. Pemilu kita masih belum sepenuhnya berpihak pada afirmasi keterwakilan perempuan 30 persen. Karena itu, kita harus punya daya saing baik dalam ilmu pengetahuan maupun wawasan,” ujarnya.

Himmatul juga menekankan pentingnya peran regulasi dalam mendukung perempuan, antara lain dengan keberadaan pasal 28H UUD 1945, serta afirmasi keterwakilan 30 persen dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, UU Nomor 7 Tahun 2017, dan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 yang telah direvisi menjadi PKPU Nomor 4 Tahun 2024.

Mengakhiri paparannya, Himmatul mendorong perempuan Indonesia untuk terus belajar dan meningkatkan kapasitas melalui berbagai peluang pendidikan, termasuk beasiswa. Menurutnya, ruang pengabdian bagi perempuan terbuka luas, tidak hanya di parlemen, tetapi juga di berbagai bidang strategis lainnya.

Menjadi Kunci Perdamaian

Sementara itu Duta Besar Indonesia Untuk Kuwait Dra. Hj. Lena Maryana Mukti, S.Pd. I, menyoroti bahwa perempuan kerap terpinggirkan dalam konflik dan proses perdamaian, meskipun memainkan peran strategis sebagai pembawa damai.

Menurutnya, keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian adalah kebutuhan strategis, bukan sekadar moral. Ia mengacu pada agenda global Women, Peace, and Security (WPS), yang menempatkan perempuan sebagai aktor penting dalam pencegahan konflik, perlindungan hak, dan pemulihan pasca konflik.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa proses perdamaian harus inklusif dan memperhatikan kebutuhan perempuan dan anak-anak yang justru menjadi korban terbanyak dalam konflik.

“Perumusan perdamaian harus menyertakan perempuan karena perempuan lebih memahami kebutuhan perempuan dan anak,” tegasnya.

Pendidikan yang Utama

Selain itu Ketua Komisi X DPR RI, Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, M.P.P., mengaku masih merasakan kuatnya ketimpangan gender di dunia pendidikan dan ketenagakerjaan, khususnya di bidang STEM dan pendidikan anak usia dini.

Selain itu menurutnya meskipun perempuan mendominasi di sektor-sektor tertentu, tetap ada stereotip yang membatasi ruang gerak mereka di ranah politik, teknologi, dan ekonomi. Salah satu tantangan besar yang dihadapi perempuan Indonesia, yaitu tingginya angka perkawinan anak. Data menunjukkan 12,7 persen anak perempuan putus sekolah karena menikah dini, sementara hanya 0,37 persen pada anak laki-laki.

“Dampaknya jelas tidak setara. Laki-laki masih bisa melanjutkan sekolah meskipun menikah dini, tapi perempuan seringkali harus berhenti,” katanya.

Dalam konteks ekonomi, Hetifah juga menyoroti peran penting perempuan kepala keluarga yang masih menghadapi berbagai hambatan, seperti keterbatasan dokumen, partisipasi pendidikan anak, hingga akses layanan dasar.

Peneliti Utama Politik BRIN Prof.Dr. R. Siti Zuhro.MA menyampakan bahwa untuk seluruh perempuan, khususnya yang tergabung dalam organisasi KOHATI, untuk segera mengambil peran lebih besar dalam pembangunan bangsa. Ia menekankan pentingnya kontribusi nyata yang tidak berhenti hanya pada tataran akademis.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano