Jakarta, aktual.com – Perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme atau radikalisme dinilai sebagai akibat dari fenomena dunia saat ini, dan bukan karena faktor agama.
“Saya pikir agama apapun tidak mengajarkan kita untuk merusak atau melakukan sesuatu yang sangat keji,” kata Duta Besar/Wakil Indonesia pada ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (ASEAN-IPR) Governing Council, Artauli Tobing di Jakarta, Selasa (12/11).
Di sela-sela “Dialog Antarkeyakinan Perempuan ASEAN: Mendorong Pemahaman untuk Masyarakat yang Inklusif dan Damai” Artauli berpendapat bahwa keterlibatan perempuan dalam beberapa aksi teror misalnya, lebih disebabkan tantangan eksternal seperti ekstremisme dan radikalisme.
“Saya pikir itu suatu dorongan yang di luar elemen-elemen budaya. Itu adalah akibat tantangan yang dunia hadapi sekarang,” tutur dia.
Dalam dua tahun terakhir, keterlibatan perempuan dalam aksi teror bom diketahui di antaranya melalui peristiwa di Surabaya dan Sidoarjo, pada Mei 2018, menyusul kemudian aksi bom bunuh diri di sebuah gereja di Jolo, Filipina selatan, yang diduga dilakukan oleh sepasang suami istri asal Indonesia pada Januari 2019.
Fenomena ini dianggap memprihatinkan karena pada dasarnya perempuan justru memiliki karakteristik yang sangat potensial dalam upaya penciptaan dan pemeliharaan perdamaian.
“Karena insting sebagai perempuan dan ibu itu besar sehingga dia sudah terbiasa mengayomi dan merangkul, yang mungkin secara alami kurang dimiliki laki-laki,” kata Artauli, menjelaskan mengenai karakteristik tersebut.
Sementara itu, Pendiri Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia memandang terlibatnya perempuan dalam terorisme dan radikalisme didorong oleh faktor kemiskinan dan kurangnya literasi.
“Perempuan itu kan kebanyakan tidak punya kemampuan baca yang luas, jadi begitu mereka mendapat ajakan untuk hijrah lalu percaya padahal itu hanya jualan agama semata,” ujar dia.
Kemampuan membaca dalam upaya meningkatkan literasi, menurut dia, juga harus dibarengi dengan kemampuan berpikir kritis agar bisa menyikapi segala sesuatu dari sudut pandang yang luas.
“Ini yang tidak diajarkan (di sekolah) dan sudah hilang dari kurikulum. Karena itu pendidikan kritis harus dimulai dari keluarga, dari rumah tangga,” kata Musdah. [Eko Priyanto]
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin