Jakarta, Aktual.com — Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terus berkilah soal adanya perjanjian antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan para perusahaan pengembang dalam proyek reklamasi pantai utara Jakarta, yang memuat pengimplementasian kontribusi tambahan.

Perjanjian yang telah dibuat itu, dinilai tidak memiliki dasar hukum, lantaran Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta belum disahkan saat perjanjian itu dibuat hingga hari ini.

Ahli hukum tata negara Bayu Dwi Anggono menilai, perjanjian yang dianggap Ahok sebagai pengikat para perusahaan pengembang reklamasi itu tidak bisa dijadikan pengganti Perda tentang Tata Ruang. Pasalnya, kedudukan antara perjanjian dan Perda sangat jauh berbeda.

“Sementara terhadap sebuah perjanjian yang dibuat oleh kepala daerah dengan pihak swasta, pembuatannya tidak ada kewajiban melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPRD. Hal ini tentu sangat rawan isi perjanjian tidak mencerminkan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi,” papar Bayu, saat diminta menanggapi, Sabtu (14/5).

Kemarin, di Balai Kota Ahok menjelaskan, bahwa memang ada perjanjian antara Pemprov dengan beberapa pengembang reklamasi. Maksudnya, agar pengembang bisa segera mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya, yang disebut kontribusi tambahan, sambil menunggu Perda Tata Ruang disahkan.

“Kalau perjanjian itu kan kamu suka sama suka, berarti kuat dong. Kerja sama bisnis kok. Ya kalau enggak ada perjanjian kan enggak kuat. Makanya sebelum saya tetapkan itu, saya ikat dulu pakai perjanjian kerja sama,” terang Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (13/5).

Hal ini pun tak lupa dikomentari oleh ahli hukum tata negara dari Universitas Brebes. Dijelaskan Bayu, sebuah Perda dibuat untuk memuat materi penyelenggaraan otonomi daerah, dan tugas pembantuan serta penjabaran mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan demikian apabila suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri memerintahkan pembentukan Perda, maka terhadap perintah atau delegasi pengaturan semacam itu harus dilaksanakan dan tidak bisa digantikan dengan produk hukum seperti perjanjian.

“Intinya kalau delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi memerintahkan diatur melalui Perda berarti pejabat pemerintahan yaitu kepala daerah tidak boleh menyimpanginya, harus diatur melalui Perda dan tidak boleh melalui produk hukum lainnya semisal perjanjian,” terangnya.

Ahok sendiri tak menampik kalau perjanjian itu dia buat untuk bisa segera menarik kontribusi tambahan dari pengembang reklamasi. Perjanjian itu dibikin pada rapat tanggal 18 Maret 2014 dan disebut Ahok sebagai ‘perjanjian preman’.

Pemerintah Provinsi DKI dianalogikan sebagai preman yang memang memiliki kewenangan untuk menarik kewajiban dari perusahaan pengembang reklamasi. Bahkan dia menyebut kalau perjanjian tak hanya berlaku untuk para pengembang reklamasi.

“Kaya perjanjian preman kaya gitu juga,” kata Ahok.

Namun, khusus pengembang reklamasi, Ahok beralasan ada aturan hukum yang melegalkan perjanjian tersebut. Dia menyebut aturan hukumnya adalah Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995.

“Jadi begini, di situ ada Keppres menyebutkan, ada tiga sebetulnya. Jadi landasannya dari situ. Satu, ada tambahan kontribusi. Ada kewajiban, kalau kewajiban kan fasum fasos. Ada kontribusi lima persen. Di situ katakanlah ada kontribusi tambahan, tapi enggak jelas apa. Ya saya manfaatkan dong (untuk dibikinkan perjanjian sendiri),” tutur Ahok.

Padahal, kalau dibaca dengan seksama, aturan tersebut sama sekali tidak menjelaskan tentang kewajiban, kontribusi, ataupun kontribusi tambahan yang dibebankan kepada pengembang reklamasi.

Apa yang dilakukan Ahok ini, sudah menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK Agus Rahardjo menilai, perjanjian itu adalah salah satu masalah yang bersembunyi di balik kasus dugaan suap pembahasan raperda reklamasi Pantura Jakarta.

“Kita sedang selidiki dasar hukumnya barter itu apa. Ada enggak dasar hukumnya,” kata Ketua KPK Agus Raharjo, Kamis (12/5).

Artikel ini ditulis oleh: