Menkeu Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan pers di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (8/3). Menkeu menyatakan sebanyak 4.551 fungsional pemeriksa dan penyidik pajak di seluruh Indonesia akan membantu optimalisasi penerimaan pajak dari Wajib Pajak Orang Pribadi. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz/16.

Jakarta, Aktual.com — Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dianggap sebagai menteri yang layak diganti dalam reshuffle kabinet jilid II, mengingat Bambang sosok yang sangat memperjuangkan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Maftuchan, maraknya kasus pengelakan pajak atau penghindaran pajak ternyata malah direspon pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan dengan mengusung Tax Amnesty.

“Saat ini Menkeu malah fokus menggolkan tax amnesty demi mengejar penerimaan. Padahal jika bicara semangat Nawacita justru ingin penegakan hukum. Ini bagaimana ceritanya kalau pengemplang pajak harus diampuni,” cetus Maftuchan, saat diskusi soal reshuffle di Jakarta, Minggu (17/4).

Menurut dia, konsep tax amnesty ini sangat bertentangan dengan semangat Nawacita yang sejak kampanye diusung Presiden Jokowi.

“Makanya saya melihat, kebijakan fiskal selama ini justru bertentangan dengan semangat Nawacita dan jauh dari prinsip keadilan,” kata dia.

Bahkan Maftuh menyebut, tax amnesty ini sebagai skandal keuangan kedua terbesar setelah skandal bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Tax Amnesty ini hanya bisa menarik dana untuk pajak Rp60 triliun. Itu sangat kecil, sementara dana yang diparkir di luar negeri itu ribuan triliun,” tegas dia.

Apalagi, aturan tax amnesty tidak akan berlangsung lama, hanya satu setengah tahun, karena pada 2018 sudah ada keterbukaan di semua negara di dunia.

“Sehingga tanpa tax amnesty pun, di 2018 nanti sudah keterbukaan itu. Jadi setiap negara bisa membuka siapa saja waganya yang menyimpan dana di satu negara tertentu,” jelas dia.

Bahkan di sektor ekonomi ini, kata dia, menteri-menterinya dianggap tidak pas. Termasuk Menko Perekonomian, Darmin Nasution juga kurang bagus kinerjanya. Sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), kebijakan Darmin lebih banyak menyoroti isu moneter, ketimbang perekonomian secara umum.

“Jadi ada masalah besar di bidang ekonomi ini, dan butuh peran cepat dari Jokowi untuk menyelesaikannya,” pungkas Maftuchan.

Artikel ini ditulis oleh: