Jakarta, Aktual.com – Pesan konstitusi sudah sangat tegas dan jelas diuraikan di dalam UU Nomor 11 tahun 1967 Ketentuan Pokok Pertambangan Umum thn 1967 yang melahirkan rezim PKP2B maupun UU Minerba nomor 4 tahun 2009 yang melahirkan rezim IUP dan IUPK, yaitu pengelolaan sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilaksanakan untuk kepentingan mensejahterakan rakyat Indonesia, bukan untuk orang perorangan apalagi pengusaha bermental merampok.
Sehingga Putusan Provisi PTUN oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Roni Erry Saputra, SH, M.H beranggotakan Oenoen Pratiwi, SH, MH dan Tri Cahaya Indra Permana, SH , MH dan Panitra Pengganti Sri Hartanto, SH., SH,M Kn pada tanggal 13 Desember 2017 Jakarta terhadap Surat Keputusan Menteri ESDM nomor 3714 K/30/MEN/2017 tanggal 19 Okyober 2017 tentang “Pengakhiran Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Asmin Koalindo Tuhup di Kabupaten Murung Raya Propinsi Kalimantan Tengah” telah menambah daftar panjang kekalahan negara dalam berperkara di Pengadilan tingkat pertama bahkan sampai tinggi bila bersengketa dengan korporasi, apalagi bila korporasi itu dalam praktik bisnisnya beraroma mafia, sehingga putusan provisi oleh hakim PTUN itu telah mengundang keprihatinan banyak pihak, bahkan publik sangat mencurigai hasil keputusan itu terkesan penuh aroma kongkalikong banyak pihak.
Presiden sebagai kepala negara tidak boleh diam terhadap ancaman yang dialamatkan kepada Menteri ESDM di PTUN Jakarta sekarang masih berlangsung dan Kementerian ESDM pada tgl 24 Januari 2017 akan menyerahkan Duplik, harus segera menggerakkan seluruh organ negara untuk melawannya, termasuk Ketua Makamah Agung dan Komisi Yudisial memantau para hakim hakimnya, BPK mengaudit potensi kerugian negara dan KPK, Polri dan Kejakasaan supaya menyelidiki dugaan kejahatan korporasi terhadap negara, begitu juga Menteri KLH menyidik terhadap penundaan iuran pinjam pakai kawasan kehutanan, Pemda tingkat 1 dan tingkat II Kabupaten supaya menagihkan segera kewajiban kewajiban retribusi daerah kepada PT AKT secara paksa melalui gugatan di Pengadilan setempat.
Sementera itu Ditjen Minerba bisa mencegahnya dengan tidak menyetujui RKAB yang sedang diusulkan oleh PT AKT, sehingga setiap aktifitas penambangan yang dilakukan bisa dianggap penambangan ilegal.
Betapa “perkasanya” memang, Ditjen Pajak saja pernah digugat oleh PT AKT pada tahun 2011 di PTUN Jakarta terkait Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Setiabudi tiga yang diabaikannya sesuai penetapan nomor 219/G/2011/PTUN Jakarta tgl 3 Januari 2012.
Himbaun ini menjadi penting mengingat beredarnya dugaan informasi dikalangan tertentu bahwa penggugat telah mengajak oknum elit yg partai untuk memenangkan pertarungan di PTUN Jakarta dgn memanfaatkan kadernya yg jadi petinggi penegak hukum. Ingat dan waspadalah dengan kata kata ” tidak ada makan siang yang gratis (non est prandium gratis) .
Dugaan adanya kongkalikong dalam putusan provisi itu karena melihat kajian atas pertimbangan majelis hakim dalam putusan provisinya hanya melihat kerugian penggugat semata yg adalah hanya menjadi beban kerugian banyak pemberi pinjaman (yg tertipu?) , bahkan berdasarkan data yang beredar PT AKT nilai PKPU ( Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ) kepada banyak pihak sudah mencapai sekitar Rp 25 triliun berdasarkan gugatan di pengadilan, tanpa mempertimbangkan kewibawaan dan kerugian negara yang jauh lebih besar akibat pihak penggugat telah melanggar isi pasal pasal dalam PKP2B, terkhusus pelanggaran terhadap isi pasal 25 , pasal 30 dari PKP2B maupun terhadap UU Minerba nmr 4 thn 2009.
Bagaimana bisanya Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas bumi air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikangkangi dan dikalahkan oleh Korporasi yang melawan aturan dan kontrak?. Bukankah suatu perjanjian itu mengikat kedua belah pihak bagaikan undang-undang dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik?.
Seharusnya majelis hakim lebih jeli mengungkap pelangaran demi pelanggaran terhadap isi perjanjian dilakukan penggugat, termasuk meminta BPK melakukan audit investigasi terhadap potensi dan kerugian yg sudah timbul akibat pelanggaran yang dilakukan AKT sebagai penggugat.
Adapun diktum Hakim PTUN tanggal 14 November 2017 mengenai penundaan adalah sbb:
Mengabulkan permohonan yang diajukan Penggugat (PT AKT) dan memerintahkan Tergugat Menteri ESDM untuk menunda pelaksanaan Surat Keputusan Menteri ESDM nomor 3174 K/30/MEM/2017 tgl 19 Oktober 2017 tentang pengkahiran PKP2B dan tetap memproses rekomendasi dan perizinan terkait operasional pertambangan PT AKT , selama pemeriksaan dan sampai perkara ini berkekuatan hukum tetap. Lalu berapa lama lagi putusan akan berkekuatan hukum tetap?. Berapa kerugian material dan wibawa Negara yg akan terkorbankan dalam masa itu?
Kita punya pengalaman buruk terkait sulitnya Pemerintah selama hampir 5 tahun ini menggiring PT Freeport Indonenesia untuk tunduk dan patuh baik terhadap isi kontrak karya maupun terhadap isi UU Minerba , sehingga dalam kasus gugatan PT AKT terhadap Menteri ESDM di PTUN Jakarta harus menjadi perhatian semua stake holder di negeri yang tercinta ini.
Keledai saja tidak akan mau tersangkut ditempat yang sama, jangan sampai sumber daya alam yang merupakan anugrah dari Yang Maha Kuasa menjadi kutukan bagi bangsa Indonesia.
Jakarta 22 Januari 2018
CERI – Yusri Usman