Jakarta, Aktual.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus segera melakukan perombakan kabinet dan memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.
Desakan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian People’s Institute (IPI), Yusuf Lakaseng di Kantor IPI, di Jalan Malabar, Jakarta Selatan (29/2).
“Kita sedang berada pada situasi ekonomi yang buruk, jika tidak segera mendapatkan penanganan yang baik dan benar maka situasi buruk ini akan menjadi sangat buruk,” ujarnya.
Dalam catatan IPI, perlambatan pertumbuhan ekonomi yg pada kuartal I 2015 tercatat hanya 4,7% dari target 5,3% dan terdepresiasinya rupiah ke angka Rp 12.300/$ AS adalah tanda bahaya Indonesia menuju pada situasi yg sangat buruk itu.
Perlambatan ekonomi itu telah berdampak pada terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan disejumlah sektor usaha. Di antaranya industri tekstil, alas kaki,perusahaan pertambangan, jasa minyak dan gas, perusahaan semen serta otomotif.
Sejak Januari 2015, industri sepatu Indonesia telah melakukan PHK secara bertahap terhadap 11 ribu karyawannya. Sektor pertambangan PHK masal jauh lebih parah terjadi, bisnis di sektor ini telah mengalami minus 2,3% di kuartal I 2015, sejak saat itu perusahaan disektor pertambangan melakukan PHK hingga mencapai ratusan ribu karyawannya. Bahkan di sektor batu bara jumlah pekerja disektor tersebut sudah berkurang setengah atau sekitar 500 ribu dari total satu juta orang.
Sementara itu jika daya beli masyarakat terus anjlok akibat kebijakan pencabutan subsidi BBM yang sangat drastis, hal ini telah memicu inflasi yang tinggi dan dampaknya akan memukul bisnis di sektor ritel, maka dapat dipastikan sektor ini juga akan merumahkan karyawannya.
Akhirnya berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran terus bertambah menjadi 7,45 juta orang pada Februari 2015, yang sebelumnya pada Agustus 2012 sebanyak 7,24 juta orang. Sementara pengangguran terbuka mencapai 5,8% dari total angkatan kerja yang saat ini sebanyak 128,3 juta.
Menurut Yusuf, perekonomian Indonesia memburuk karena disebabkan lima hal yang menjadi kesalahan pemerintahan Jokowi-JK. Pertama, sejak awal pembentukan kabnet presiden Jokowi tidak menunjukan kepemimpinan yang kuat, bahkan sangat kental politik kompromi dan politik dagang sapi, mengakibatkan pengisian pos menteri khususnya pada tim ekonomi dipilih figur-figur yang diragukan kemampuanya. Begitupun pada pos politik hukum dan keamanan juga di isi oleh figur yang pernyataanya sering membuat situasi politik jadi gaduh.
Kedua, pemerintahan tidak bisa membaca perkembangan potensi krisis ekonomi global dan membuat antisipasinya. Padahal sinyalnya sudah jelas, terjadi penurunan harga beberapa komoditas seperti minyak bumi, batu bara, kelapa sawit dan karet. Selain itu situasi krisis ekonomi di Yunani dan rencana bang sentral Amerika Serikat yang akan menaikan suku bunga oleh banyak pengamat ekonomi internasional telah memprediksi akan mengancam terjadinya krisis ekonomi secara global.
Sehingga keliatan pemerintah hanya menyalahkan situasi eksternal sebagai penyebab krisis tanpa melakukan tindakan yang memadai. Kemudian, tidak adanya kebijakan yang terstruktur dan sestimatik untuk menyelesaikan problem fundamental ekonomi. Ekonomi kita tidak mandiri, ketergantungan kita pada asing sangat besar akibat kebijakan ekonomi yang ultra liberal.
Impor kita lebih besar daripada ekspor, bahkan impor bahan baku mencapai 75% dari total nilai impor, akibatnya neraca transaksi berjalan kita terus mengalami devisit. Devisit neraca transaksi berjalan menunjukan ketidak mampuan kita membiayai operasional (pertumbuhan) ekonomi domestik dari sumber daya dalam negeri dan olehnya perlu ditutup dengan pembiayaan dari pihak asing dalam bentuk berutang dalam berbagai hal.
Mestinya pertumbuhan ekonomi idelanya lebih banyak bertumpuh pada sumber daya domestik karena itulah esensi kemandirian ekonomi. Keempat, pencabutan subsidi BBM yang begitu drastis sampai angka nol bagi premium adalah tindakan salah besar, itu adalah pemiskinan rakyat, daya beli rakyat yang sudah anjlok akhirnya tambah anjlok, padahal selama ini mesin (pertumbuhan) ekonomi kita di topang hampir 50% oleh konsumsi, baru kemudian disusul oleh penyerapan anggaran APBN, perdagangan dan investasi.
“Berambisi membangun infrastruktur besar-besaran bukanlah hal yang salah karena ketertinggalan infrastruktur selama ini telah menjadi faktor penghambat kemajuan ekonomi karena biaya logistik yang mahal. Itu adalah orientasi ekonomi jangka panjang yang pembiayaanya mestinya membutuhkan terobosan, jangan bebankan ke rakyat yang memang hidupnya suda makin sulit,”jelasnya.
Dalam pandangan Yusuf Lakaseng, pembiayaan infrastruktur yang diambil dari pencabutan subsidi BBM, itu sama halnya menyuruh rakyat miskin untuk saweran membiayainya.
Jokowi telah mengajak rakyat untuk berkhayal pada impian masa depan yang seakan gemilang dengan memotong penghasilan rakyat yang memang sebelumnya suda tidak cukup membiayai hidupnya.
Kesalahan yang kelima yang dilakukan pemerintahan Jokowi JK lanjut Yusuf Lakaseng adalah stabilitas politik menjadi salah satu syarat tumbuhnya iklim ekonomi yang baik, akan tetapi justru pemerintah yang sering menciptakan kegaduhan yang tidak perlu. Kadin mencatat akibat kegaduhan politik mislanya antara KPK dan POLRI telah menyebabkan menguapnya perputaran uang yang diperkirakan mencapai 5 triliun rupiah per hari.
“Sebelum akhirnya kesimpulan kita semua mengarah pada ketidak mampuan presiden Jokowi memimpin negara, maka perlu presiden Jokowi menegakan otoritasnya sebagai kepala negara dan pemerintahan, lakukan perombakan kabinet tanpa mengulangi politik dagang sapi khusus untuk pengisian tim ekonomi. Ganti semua menteri dibidang ekonomi dan bidang lainya yang berkinerja buruk. Pilih figur mentri yang punya mazhab ekonomi yang mendukung kemandirian ekonomi dan berani melakukan terobosan kebijakan guna perceepatan keluar dari ancaman krisis ekonomi.”tegasnya.
Kabinet hasil reshuffle, lanjut Yusuf, khususnya tim baru di bidang ekonomi, harus segera memproduksi kebijakan untuk menyelesaikan problem fundamental ekonomi Indonesia dan perlambatan ekonomi yang terjadi.
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang