Jakarta, Aktual.co — Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkuat sistem “tracebility” (keterlacakan) hasil tangkapan perikanan dengan memperbanyak jumlah sumber daya manusia dan penggunaan teknologi sebagai upaya pemberantasan pencurian ikan di kawasan perairan Indonesia.
“Ekspor atau eksploitasi ikan dari Indonesia saat ini sudah didukung dengan kita perkenalkan aturan dalam negeri terkait ‘tracebility’ yang merupakan salah satu pilar utama perikanan kita,” kata Plh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Narmoko Prasmadji dalam konferensi pers di KKP, Jakarta, Kamis (4/6).
Menurut Narmoko, dukungan terhadap penguatan sistem keterlacakan terhadap komoditas perikanan yang ditangkap di kawasan perikanan Indonesia antara lain dengan upaya menciptakan observer yang merupakan elemen SDM penting dalam keterlacakan.
Observer adalah petugas aparat pencatat di dalam kapal penangkap ikan yang mencatat hasil perikanan di kapal tersebut. Kebutuhan untuk observer secara nasional saat ini diperkirakan mencapai sekitar 800 orang.
Selain observer yang ikut berada di dalam kapal tangkap, elemen SDM penting lainnya dalam keterlacakan hasil tangkapan ikan adalah enumerator yang bertugas memverifikasi di pelabuhan pendaratan ikan.
Selain itu, ujar dia, pihaknya juga telah membangun sistem teknologi informasi (TI) yang mempercepat data penangkapan ikan serta berguna untuk memfungsikan pelabuhan perikanan di berbagai daerah di Tanah Air secara lebih optimal.
Ia memaparkan optimalisasi pelabuhan perikanan bertujuan dalam rangka agar seluruh hasil tangkapan benar-benar didaratkan dan tercatat di pelabuhan pendaratan ikan tersebut. “Harga jual komoditas perikanan yang berbasis ‘tracebility’ sangat baik,” katanya dan mencontohkan, untuk komoditas tuna sudah diterapkan waktu tangkap dan ukuran hasil tangkapan ikan tersebut.
Ia memaparkan, perusahaan yang ingin mengoperasikan kapal bantu untuk lebih cepat dalam mendaratkan hasil ikan harus benar-benar memastikan bahwa ada observer di dalam kapal dan di daratnya ada enumerator.
Persyaratan lainnya adalah kapal tersebut harus dibuat di dalam negeri. “Monitoring dengan VMS (Vessel Monitoring System) tetap kita pakai, tapi kami akan mengintrodusir CCTV karena yang paling tepat monitor secara visual,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra mengatakan, pihaknya siap dengan menggunakan observer atau dipasang CCTV. “Tidak ada masalah.. 57 anggota kami tidak banyak memiliki kapal angkut yaitu sekitar 5-7 kapal,” kata Dwi Agus.
Sekjen ATLI mengungkapkan, permasalahan yang dirasakan pihaknya antara lain kesukaran mencari anak buah kapal (ABK) sehingga dia mengharapkan ABK yang berada di luar negeri dapat pulang ke Tanah Air.
Ia mencontohkan, di daerah seperti Bali kebanyakan ABK merupakan jenis pekerja antarwaktu atau memiliki pekerjaan lain sebagai buruh.
Artikel ini ditulis oleh: