Jakarta, Aktual.co —Pemerintah telah meluncurkan program Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Senin (3/11) lalu, untuk mengantisipasi rencana penaikkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di bulan November 2014. 
Pakar jaminan sosial Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof dr Laksono Trisnantoro mengingatkan perlunya verifikasi data secara ketat dalam peluncuran program KIS yang menggunakan anggaran dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar Rp20 triliun itu. 
“Verifikasi data menjadi penting, untuk memisahkan mana peserta BPJS yang PBI dan mana yang menjadi peserta karena menerima KIS,” kata Laksono Trisnantoro, Rabu (5/11).
Laksono sendiri mengaku menyambut baik peluncuran KIS karena hingga saat ini memang masih ada orang miskin dan kelompok terpinggirkan yang belum terlindungi oleh jaminan sosial, karena tidak termasuk sebagai PBI.
“Namun harus dipastikan PBI meskipun tidak menerima KIS, harus tetap menerima Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera. Itu hak mereka sebagai orang miskin,” tutur guru besar Fakultas Kedokteran UGM itu.
Laksono mengatakan program KIS yang menjadi bagian dari BPJS Kesehatan pasti akan menambah pengeluaran dari lembaga tersebut.
“Pemasukan BPJS dari peserta mandiri memang lebih besar daripada pengeluaran. Namun, perlu dihitung betul pengeluaran BPJS apakah rugi atau tidak,” katanya.
Supaya BPJS tidak mengalami kerugian, Laksono mengatakan jumlah peserta mandiri BPJS harus ditingkatkan. Namun apa dan siapa yang bisa memaksa dan menjamin seluruh rakyat mendaftar menjadi BPJS.
“Yang terjadi adalah peserta mandiri BPJS banyak yang mendaftar karena sudah dalam kondisi sakit. BPJS berbeda dengan asuransi. Kalau mendaftar asuransi harus dalam kondisi sehat,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: