Aktual.com, Jakarta – Berdasarkan hasil survei yang dirilis oleh Arus Survei Indonesia (ASI) pada Jumat (19/6) lalu, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin hanya sebesar 67,4 persen. Sementara, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja para menteri Kabinet Indonesia Maju rata-rata berada di bawah 50 persen.
“Rata-rata (penilaian) menterinya justru dibawah 50 persen. Saya membaca publik dalam melihat pemerintahan ini tidak paket, yakni antara menteri dengan pemerintahan itu sepertinya dianggap berbeda. Padahal, pemerintah itu memberikan mandat kepada menteri,” kata Direktur Eksekutif ASI, Ali Rif’an dalam diskusi online yang digelar Forum Monitor bertajuk ‘Persepsi Publik Terhadap Kinerja Jokowi-Ma’ruf: Siapa Layak Di Reshuffle?’ di Jakarta, Kamis (26/6).
Bahkan, menurutnya, hasil temuan ASI itu mencatat mayoritas publik atau sekitar 75,6 persen setuju untuk dilakukan reshuffle atau perombakan kabinet. Sementara 16,9 responden mengaku tidak setuju dan 7,5 persen tidak menjawab.
Namun Ali menegaskan, hasil survei tersebut masih bisa dikatakan stabil dan menggembirakan. Pasalnya, jika melihat dari sisi ekonomi, pemerintah justru dianggap masih mampu dalam mengendalikan ekonomi nasional pasca dampak pandemi Covid-19 ini.
Sementara itu, Praktisi Media sekaligus Founder Monitor.co.id, Syukron Jamal menyebut kekuatan politik Jokowi di periode kedua ini dinilai sangat kuat, sebab didukung oleh banyak partai politik. Meski demikian, lanjutnya, masuknya gerbong Partai Gerindra ke lingkaran pemerintahan tidak menjadikan situasi politik negeri ini stabil.
“Kita mengakui ekspektasi publik terhadap kepemimpinan Jokowi di periode kedua ini memang tidak sebesar periode pertama. Mengapa? Karena di periode kedua, kekuatan politik di periode ini didukung banyak partai politik dan tidak seperti periode pertama. Bahkan ketika gerbong oposisi Gerindra masuk dalam pemerintahan, harapannya dinamika politik akan relatif stabil. Namun pada kenyataannya, dalam Pemilu 2019 itu masyarakat sudah terpolarisasi dan masuknya Gerindra tidak lantas membuat politik ini relatif stabil,” ujar Syukron.
“Ini saya pikir sesuatu yang menarik,” tambahnya.
Perlu Pembenahan
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah, menilai ada tiga persoalan mendasar yang perlu diperbaiki di periode kedua Jokowi kali ini. Pertama adalah ‘dapur’. Ia menilai ‘dapur’ pemerintahan Jokowi kali ini tampak kacau. Ia tidak melihat adanya sinkronisasi data yang akurat soal pemerintahan.
Ia pun menyatakan agar Jokowi berkaca dari periode sebelumnya, sebab Jokowi dinilai sudah memiliki pengalaman.
“Dapurnya ini masih kacau. Kalau dapurnya itu kuat, maka masakannya itu pasti nikmat. Tapi karena ini dapurnya enggak bener, maka baunya tidak sedap. Apalagi kalau dicicipi, maka akan berantakan itu,” kritik Fahri Hamzah.
Kemudian yang kedua, soal operator. Menurut Fahri, operator ini berada pada tingkat Menteri Koordinator atau Menko. Meski tidak berada dalam Undang-undang, akan tetapi jabatan ini diberikan presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres). Ia mengatakan seorang Menko harus bertanggungjawab sepenuhnya atas sektor yang dibawahinya.
“Seorang Menko ditugaskan mengkoordinir sektor, sehingga sektor ini deliver semua. Misalnya Menko Kesra, isu Covid-19 ini ada di tangan Menko Kesra, dia bertanggungjawab penuh atas sektor kesehatan, kemiskinan, atau kementerian sosial dan pendidikan dan semua sektor-sektor yang berat efeknya diterima negara pasca Covid-19. Tapi kita tidak melihat inisiatif yang kuat dari Menko Kesra ini,” kata mantan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Lalu yang terakhir ialah penasehat. Fahri mengatakan bahwa presiden memerlukan adanya penasehat. Bahkan ia meminta Presiden Jokowi hendaknya memfungsikan wakilnya Ma’ruf Amin menjadi penasehatnya di bidang agama.
Sehingga dengan adanya penasehat ini, presiden akan lebih tenang dan mampu bijak dalam mengambil sebuah keputusan. Fahri juga menekankan, posisi ini layak diberikan kepada Ma’ruf Amin, terlebih merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia dan memiliki basis umat Islam terbesar di Indonesia.
“Presiden memerlukan penasehat agama, ketenangan jiwa, tausiyah pada orang itu. Presiden harusnya mengaktifkan KH Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia. Ini yang bisa menjadikan Presiden tenang, dan membuat keputusan dengan tenang juga,” pungkasnya.