Jakarta, aktual.com – Kerap kali kita sering menemukan kesulitan dalam memahami suatu buku yang kita baca, kesulitan tersebut biasanya didasarkan oleh ketidak pahaman kita terhadap makna serta tujuan yang terkandung di dalam buku tersebut.
Jika kita saja masih kesulitan memahami kandungan di dalam sebuah buku, maka lebih sulitnya lagi kita memahami apa yang terkandung di dalam kitab-kitab para ulama. Kesulitan tersebut sebenarnya bisa teratasi asalkan buku atau kitab tersebut tidak dibaca dengan sendiri dan mau bertanya kepada orang yang lebih memahami.
Seperti halnya kitab Shahih Bukhari, Maulana Syekh Yusri Rusydi menjelaskan bahwa kitab Shahih Bukhari adalah dikhususkan untuk di kaji dan dipelajari orang seseorang yang alim, tidak hanya di baca sendiri tanpa seorang guru. Sehingga pemikiran-pemikiran yang menentang kepada kitab ini adalah berdasarkan atas kebodohan semata, oleh sebab dirinya enggan untuk bertanya kepada para ulama.
Pada kitab Bukhari tertulis dalam judul babnya, yaitu:
باب قوله: مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نَنْسَأْهَا
Bab tentang firman Allah Ta’ala: “Dan tidaklah Kami menaskh (mengganti) dari sebuah ayat ataupun mengakhirkannya,” (QS. Al-Baqarah: 106).
Pada ayat di atas, Imam Bukhari menuliskan ayat tersebut dengan menggunakan qira’ahnya Imam Ibnu Katsir dan Imam Abu Amr Al-Bashri, yang mana bacaannya berbeda dengan yang biasa kita kenal, yaitu riwayatnya Imam Hafs dari Imam Ashim.
Dalam riwayat yang masyhur, adalah membacanya dengan:
أَوْ نُنْسِهَا
yaitu riwayatnya Imam Hafs dan Jumhur, dimana dua cara baca pada kalimat ini adalah sama-sama qira’ah yang mutawatirah sampai kepada Rasulullah Saw. Akan tetapi apabila yang memabaca kitab shahih Bukhari ini adalah orang biasa yang tidak tahu tentang qira’at mutawatirah, maka dia akan menyalahkan apa yang dituliskan Imam Bukhari dalam hal ini.
Maka dari itu, syekh Yusri menegaskan, bahwa kita haruslah berguru kepada orang yang alim dalam membaca kitab, tidak hanya mencukupkan diri dengan membaca sendiri. Orang yang membaca sendiri, pemahamannya hanya terbatas pada kemampuannya, yang tidak terlepas dari kesalahan pemahaman, dan ini sangat membahayakan, sehingga berujung kepada menyalahkan pengarang kitabnya, ataupun keluar dari ijma’ ulama islam.
Wallahu A’lam.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain