Harapan ratusan petani untuk memperoleh keadilan lewat ikhtiar peninjauan kembali atas Putusan Kasasi Perkara Nomor: 07/G/2015/PTUN.YK Jo. 456K/TUN/2015 atas Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara Untuk Pengembangan Bandara Baru di DIY, terpaksa harus diurungkan sejenak.

Sebab, dikabarkan oleh sejumlah hakim dan pejabat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta yang menemui warga Wahana Tri Tunggal (WTT) pada Senin, 18 April 2016 lalu, ada peraturan baru berwujud Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 19 di Perma itu berbunyi: ‘putusan kasasi merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum peninjauan kembali.’

Munculnya Perma ini terutama materi Pasal 19, sudah barang tentu membuat banyak warga yang hadir di dalam ruang sidang PTUN Senin lalu tersentak, geleng-geleng kepala, seakan tidak percaya bahwasanya Perma tersebut baru terbit pada 2 Februari 2016 atau pasca dimenangkannya permohonan Kasasi Gubernur DIY atas IPL Bandara Kulonprogo.

Dari sini kami menilai terdapat kesalahan fundamental dengan materi muatan Pasal 19 Perma tersebut.

Pertama, akan ada banyak sekali warga masyarakat kehilangan hak untuk memperoleh keadilan akibat dari munculnya Peraturan Mahkamah Agung ini. Apalagi, pemerintahan hari ini merupakan rezim yang amat gencar mengadakan proyek pembangunan (salah satunya proyek MP3EI) yang merampas tanah-tanah warga. Di banyak daerah di Indonesia, warga terpaksa kehilangan tanahnya demi pembangunan berjargon ‘kepentingan umum’.

Upaya hukum melalui lembaga peradilan (TUN) dari tingkat pertama hingga tahap Peninjauan Kembali sesungguhnya jadi peranti legal-formal yang bisa didayagunakan untuk menggugat keputusan TUN yang kadangkala punya watak main serobot dan represif.

Melalui lembaga peradilan, sebagian masyarakat masih percaya keadilan didapat. Namun, jika salah satu upaya hukum berupa Peninjauan Kembali diamputasi, lantas siapa yang bisa menjamin bahwa lembaga peradilan telah menjatuhkan putusan dengan benar bahkan tanpa cela?

Secara filosofi, adanya Peninjauan Kembali berfungsi sebagai alat perlindungan warga dari ketidakadilan. Sebab tidak seluruh putusan mengandung nilai keadilan. Melalui Peninjauan Kembali, putusan yang tidak benar secara hukum dapat ditinjau dan diperbaiki.

Dengan kata lain, terdapat fungsi saling kontrol antar tingkatan lembaga peradilan. Dengan begitu putusan yang dihasilkan pun adil serta sejalan dengan norma Hak Asasi Manusia.

Terlebih Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diyakini sudah bernas dalam mengatur ketentuan, bahwasanya setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar pula.

Kedua, materi Pasal 19 Perma Nomor 2 tahun 2016 nyata-nyata menyimpangi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Peninjauan Kembali adalah norma umum yang sudah diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sebagai sebuah peraturan yang kedudukannya lebih rendah, maka semestinya materi muatan Perma tidak berbelok dari peraturan yang lebih tinggi.

Bahkan, asas pembentukan peraturan perundang-undangannya pun sangat jelas, yaitu asas kesesuaian. Di samping itu, memandang Perma Nomor 2 tahun 2016 sebagai aturan lex specialis juga salah kaprah. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang).

Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, kami sangat berkeberatan Mahkamah Agung menerbitkan Perma Nomor 2 tahun 2016. Perma ini telah membatasi hak warga negara untuk memperoleh keadilan yang merupakan tujuan asasi daripada hukum. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh ketentuan formalitas.

Kejadian yang dialami oleh para petani Temon Kulonprogo, yang tertunda mengajukan pendaftaran Peninjauan Kembali karena terganjal ketentuan formalitas boleh jadi akan dialami pula oleh warga masyarakat miskin, marjinal dan buta hukum di tempat lain yang jadi korban perampasan tanah untuk pembangunan ‘kepentingan umum’ sepanjang Perma Nomor 2 tahun 2016 ini masih diberlakukan.

Oleh karena itu, Mahkamah Agung harus mencabut Perma Nomor 2 tahun 2016 dan hakim di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dalam berpraktik mesti berpijak pada asas lex superior derogat legi inferiori atau “hukum yang urutan atau tingkatnya lebih tinggi mengesampingkan atau mengabaikan hukum yang lebih rendah”.

Yogyakarta, 19 April 2016

Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta

Yogi Zul Fadhli (Kuasa Hukum Para Pemohon PK)

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis