Jakarta, Aktual.co — Pernikahan antara warga Muslim Syiah dan Sunni adalah hal yang biasa saja di Irak. Hal itu sudah berlangsung puluhan tahun, dan masih terus berlangsung sampai sekarang. Bagi masyarakat awam di Irak, perbedaan Sunni dan Syiah tidak pernah menjadi isu serius.
Demikian dinyatakan beberapa staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Baghdad kepada Redaktur Senior Aktual.co, Satrio Arismunandar, yang melaporkan langsung dari Baghdad, ibukota Irak, Senin (2/3).
“Kalau dibandingkan dengan konteks Indonesia, pernikahan antara warga Sunni dan Syiah di Irak kira-kira sama dengan pernikahan antara warga Nahdlatul Ulama dengan warga Muhammadiyah, atau dengan warga Persis,” ujar seorang Staf KBRI yang kebetulan menganut Sunni, dan lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir, jurusan teologi.
“Sesudah menikah, masing-masing ya tetap dengan kepercayaannya. Kalau mau jujur, warga Syiah di sini sebetulnya umumnya tidak sangat ketat dalam masalah agama, dan tidak terlalu peduli dengan isu-isu perbedaan agama. Ya, kalau ditempatkan dalam konteks Indonesia, Islam KTP-lah! ” tambahnya.
Diakui, dalam masalah pertarungan politik di parlemen dan pemerintahan Irak, isu Sunni dan Syiah ini sempat mengemuka. Namun, persaingan itu pun sebetulnya longgar. Buktinya, ada kelompok Syiah yang berkoalisi dengan kelompok Sunni, dan keduanya sama-sama menentang pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang Syiah. Sementara perpecahan dan persaingan di antara sesama kelompok Syiah sendiri juga cukup keras.
Seorang diplomat lain tertawa geli, ketika ditanya Aktual.co tentang “Syiahisasi” di pemerintahan Irak. “Bagaimana bisa?  Di Irak, Perdana Menterinya Syiah, tapi Presidennya dan Ketua Parlemennya Sunni. Sedangkan di jajaran anggota parlemen dan kabinetnya, separuhnya Syiah dan separuhnya Sunni. Padahal kalau melihat jumlah penduduk, Syiah itu justru mayoritas, sampai 60 persen,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh: