Jakarta, aktual.com – Kaji ulang moratorium dan periksa cawe-cawe moratorium dugaan keberangkatan 27 juta orang (agregat) sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) sebab hal itu terkategori sepadan dalam bentuk yang berbeda dengan Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO) oleh perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) bersama Sarikah partnernya yang berkonsekuensi pada perputaran uang hitam sebesar kisaran Rp 1500 Triliun, agar kemudian negara bisa mencarikan solusi yang terbaik bagi anak bangsa yang hendak bekerja secara legal ke negara-negara yang dilarang tersebut.

Setelah Indonesian Audit Watch (IAW) menyurati Menkpolhukam RI dengan surar nomor: 35/PendiriIAW/V/23 tanggal 15 Mei 2023 berisi kajian disertai lampiran 744 halaman, maka saat ini kami sedang mengkonsolidasi agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bisa sesegera mungkin untuk mencermati kondisi moratorium (morari yang berarti penundaan) ke negara-negara timur tengah (wilayah yang mencakup Asia Barat dan Afrika Utara) serta ke Malaysia.

Menunda pengiriman PMI atau tenaga kerja Indonesia ke negara tujuan tertentu selama batas waktu yang ditentukan itu ternyata malah sudah berlangsung puluhan tahun. Itu awalnya diputuskan demikian sebagai imbas dari hal-hal buruk yang dialami oleh pekerja migran Indonesia.

Moratorium yang dilakukan oleh otoritas pemerintah bidang ketenagakerjaan yakni Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia atau Kemnaker ternyata tidak berdampak baik seperti esensi yang diharapkan.

Malah fakta yang sulit dibantah oleh otoritas pemangku kebijakan adalah fluktuasi moratorium sejak Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKI) sampai hari ini ternyata malah menimbulkan anomali, yakni terjadi dugaan 27 juta (agregat) TPPO yang dilakukan dengan sesadar-sadarnya mensiasati pengiriman PMI baik wanita atau pria ke wilayah timur tengah dan Malaysia. Itu diduga kuat masih konsisten berlangsung.

Berdasar data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) tahun 2021-2022 disebut jumlah TKW/TKI hanya kisaran 3,7 juta. Namun penelitian ilmiah berdasar data World Bank disebutkan jumlah TKW/TKI sebanyaj 9 juta. Terbanyak ke Malaysia 55% lalu 13% Arab Saudi dan 10% di Taiwan/China sisanya dibanyak negara. World Bank juga sebutkan jumlah uang yang dikirim TKW/TKI ke Indonesia sebanyak kisaran 118 Triliun pada tahun 2016. Angka-angka itu tentu cenderung berbasis pada data yang legal.

Lalu bagaimana dengan data dari kegiatan anomali/tidak seharusnya tersebut?

Terlihat pemerintah secara taktis memberlakukan moratorium pengiriman buruh migran ke negara-negara timur tengah sejak tahun 2015 berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan nomor 260 tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada penggunaan perseorangan di negara-negara kawasan timur tengah.

Terkait moratorium itu sendiri kemudian diketahui pernah diuji sampai lahir amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 61/PUU-XIII/2015 atas judicial review UU PPTKI yang sebut bahwa larangan atau penghentian TKI domestik (domestic worker) sebagaimana termuat dalam pasal 81 ayat (1) UU PPTKI merupakan kewenangan Pemerintah Indonesia cq Kementerian Tenaga Kerja untuk menghentikan sementara (moratorium) karena pengiriman tenaga kerja domestik ke luar negeri bertujuan agar semua pihak yang terkait melakukan evaluasi dan pembenahan sistem penempatan dan perlindungan TKI informal/domestik.

Ternyata esensi dari keharusan adanya evaluasi dan pembenahan tersebut sampai hari ini tidak bisa lahir.

Walau MK sebut keberadaan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai penjabaran semangat keterpaduan dalam UU PPTKI pada bagian “Menimbang” huruf f UU PPTKI yang menyatakan bahwa penempatan TKI di luar negeri dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik pusat maupun daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi TKI yang ditempatkan di luar negeri, namun hal itu sulit untuk dipercaya.

Senyatanya malah sampai hari ini didalam negeri sendiri sudah ada 1624 kasus PJTKI di Mahkamah Agung dengan berbagai jenis kasus sejak 2004.

Untuk publik IAW sajikan paparan sebagai bahan informasi bahwa sebegitu riskannya jika moratorium masih dijadikan tameng untuk seakan-akan ‘menjaga’ harga diri bangsa, padahal itu anomali karena sesungguhnya seperti ini:
1. Moratorium (larangan atau penghentian TKI domestik/domestic worker) sebagaimana termuat dalam Undang-undang (UU) tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) untuk menghentikan sementara (moratorium) pengiriman tenaga kerja domestik ke luar negeri bertujuan agar semua pihak yang terkait melakukan evaluasi dan pembenahan sistem penempatan dan perlindungan TKI informal/domestik. Itu seharusnya sementara.
2. Poin (1) itu sejak 2004 sesungguhnya dilakukan untuk menjaga marwah PMI yang kerap mendapat perlakuan buruk di timur tengah.
3. Faktanya, sudah nyaris 18 tahun, ternyata malah setiap tahun diduga sekitar 1,2 juta s/d 1,5 juta TKI/PMI malah dikirim ke timur tengah (terdiri dari Arab Saudi, Abudabi, Bahrain, Dubai, Irak, Iran, Kuwait, Lebanon, Mesir, Oman dan Qatar yang dilakukan secara konsisten padahal ada moratorium. Itu termasuk ke Malaysia.
4. Keberangkatan setiap orang PMI itu dibiayai oleh perusahaan/Sarikah dari negara tujuan sebesar 4000 s/d 6000 USA guna pemenuhan kesiapan administrasi, penampungan dan transportasi. Itu sesungguhnya terkategori uang hitam sebab diperuntukkan melawan peraturan perundangan.
5. Diprediksi bahwa sirkulasi putaran uang hitam yang berputar pertahun dengan kisaran keberangkatan 5000 orang per hari dari berbagai bandara/pelabuhan besar Indonesia x 300 hari x 18 tahun = 27.000.000 orang secara agregat (keseluruhan, jumlah, kumpulan, pengumpulan) hilir mudik menjadi PMI. Maksimal terjadi perputaran uang dikisaran 108 Miliar USA. Jika dengan asumsi kontrak per 2 tahun sehingga menjadi 13.500.000 orang, maka minimal uang berputar adalah 54 Miliar USA atau setara dengan 750 Triliun yang bersumber dari Sarikah/perusahaan dari timur tengah. Itu dugaan terminimal putaran uang hitam untuk memberangkatkan TKI pada masa moratorium.
7. Belum lagi pasca PMI sudah mendapatkan penghasilannya, maka uang yang masuk ke Indonesia akan menjadi luar biasa dimana angka perorang mendapat gaji dikisaram 1500 USA per bulan.

IAW memaparkan dugaan kinerja komplotan jahat TPPO itu saat memberangkatkan PMI dengan alur seperti ini:
1. Ada sponsor yang menggerakkan banyak individual yang disebut Pembantu Lapangan (PL) untuk menjaring TKW/TKI dari berbagai daerah. Lalu TKW/TKI diantar sponsor ke PJTKI. TKW/TKI umumnya diwajibkan membawa persetujuan suami/istri yang diketahui RT/RW/Kades/Camat.
2. Sponsor mendaftarkan individual yang dibawa oleh PL untuk jadi PMI ke PJTKI.
3. TKW/TKI ditampung atau tidak ditampung oleh PJTKI.
4. Pemeriksaan kesehatan TKW/TKI difasilitasi oleh PJTKI ke klinik kesehatan/sarana pelayanan kesehatan yang merupakan partner/terafiliasi dengan PJTKI.
5. Pembuatan paspor (dengan melampirkan KK, KTP, akta kelahiran/ijazah PMI) oleh PJTKI ke Imigrasi. Fakta umum data-data bahwa bahkan KTP elektronik bisa dipalsu dan oknum Imigrasi masih bisa membobol sistim penerbitan paspor.
6. Mendaftar paspor, hasil kesehatan dan lembaran visa online (Enjaz) untuk diperiksa pihak Kedubes negara tujuan PMI guna mendapatkan stempel basah Kedubes atas plot dari visa kuota Sarikah (Partner PJTKI di negara tujuan yang bila ditelisik sebenarnya menginginkan tenaga kerja profesional terlatih. Mereka kerap menyimpang dalam pemerolehan hal yang disebut Enjaz atau proses aplikasi online untuk mendapatkan visa kerja. Setelah diberangkatkan lalu PMI ditampung oleh Sarikah/partner PJTKI sebelum disalurkan ke rumah tangga-rumah tangga). Sebenarnya beresiko tinggi menggunakan visa wisata/ziarah karena paling lama hanya 3 bulan. Selain itu kecenderungan fakta bahwa PMI yang gunakan visa atas kuota dari Sarikah tersebut tidak memiliki sertifikasi resmi yang disyaratkan, jikapun ada dilampirkan maka umumnya cenderung palsu.
7. PJTKI memesan tiket penerbangan/maskapai ke negara tujuan.
8. Kaki tangan PJTKI mengawal/jaga PMI ke bandara keberangkatan (dikenal dengan istilah handle bandara/pelabuhan).
9. Kelebihan umur/kadaluarsa visa pada poin (6) secara umum disiasati oleh kelompok sindikat PJTKI di negara tujuan PMI dengan pola pemutihan dan atau pola ditangkapkan oleh majikan ke aparat Polisi dan/atau kabur untuk kemudian dideportasi.

Poin nomor 1 sd 9 tersebut di atas tetap ditatakelola oleh PJTKI karena mereka ada mendapat selisih apresiasi yang signifikan dari 4000 s/d 6000 USD per orang PMI. Itu bersumber dari Sarikah/agen-agen negara tujuan.

Sementara devisa dari PMI diprediksi dikisaran 100 sd 200 triliun per tahun. Ini tentu menjadi potensi yang sangat membantu pembangunan Negara jika lahir dari konteks diproteksi regulasi.

Kami uraian pula prediksi alokasi biaya operasi tatakelola uang hitam untuk penyiapan keberangkatan PMI yaitu dari kisaran jumlah Rp. 50.000.000 s/d Rp. 70.000.000 yang bersumber dari Sarikah, itu didistribusi PJTKI untuk:
1. Pembantu Lapangan (PL)/sponsor Rp. 5.000.000. Ini didistribusi untuk jasa PL juga untuk pengurusan surat pengantar RT/RW/Kades/Camat.
2. Untuk TKW/TKI Rp. 5.000.000. Ini biasanya diperuntukkan bagi keluarga/uang saku TKW/TKI selama proses jelang keberangkatan.
3. Jasa sponsor umumnya Rp. 10.000.000.
4. Biaya medikal cek up kisaran Rp. 350.000 s/d Rp. 1.000.000.
5. Biaya pengurusan sampai terbit paspor Rp. 3.500.000 s/d Rp. 4.000.000.
6. Biaya pengurusan sampai terbit Enjaz Rp. 800.000 s/d Rp. 1.500.000.
7. Tiket kisaran Rp. 4.000.000 s/d Rp. 6.000.000 sesuai negara tujuan.
8. Biaya-biaya handel bandara/pelabuhan Rp. 6.000.000.
9. Sisa jasa sebagai keuntungan bersih untuk PJTKI setelah biaya makan minum tempat tinggal menampung PMI adalah dikisaran Rp. 10.000.000 s/d 20.000.000.

Selain dari pelabuhan, umumnya bandara keberangkatan/pengiriman PMI adalah:
1. Soekarno Hatta, Banten
2. Kualanamu, Sumut (transit).
3. Kertajati, Jawa Barat (transit).
4. Djuanda, Jawa Timur (transit).
5. Hasanuddin, Sulawesi Selatan (transit).

Kami menduga bahwa kewenangan yang dilanggar/penyimpangan dari para penyelenggara negara pada proses pengiriman TKI dimasa moratorium itu terjadi/terlihat saat terbitnya dokumen-dokumen yang tidak seharusnya yaitu:
1. Dokumen imigrasi.
2. Enjaz dari tiap Kedubes.
3. Medikal cek up.
4. Asuransi jiwa.
5. Termasuk data keberangkatan penumpang dari bandara/pelabuhan tiap maskapai/kapal yang berangkat pada jam-jam tertentu dalam 300 hari.

Kami menyarankan agar DPR RI bisa membentuk Pansus atau seminimal-minimalnya Panja sebagai instrumen untuk menggerakkan aparat hukum guna memeriksa sumber utama data agar publik dan aparat bisa meyakini bahwa telah berulang terjadi TPPO dalam lingkup masa moratorium tersebut.

Kunci pembuktian TPPO itu bisa terdeteksi pada komputer keberangkatan TKI di bandara/pelabuhan keberangkatan ke timur tengah dan Malaysia serta individu beserta perangkat IT bagian pengurusan keimigrasian pada seluruh PJTKI serta data penerbitan visa dari setiap Kedubes negara tujuan PMI. Bersamaan juga bisa didapat dari data pendukung lain terkait medical cek up serta foto-foto keberangkatan dari bandara.

Sebagai simpul awal, IAW memberi masukan kepada DPR RI dan aparat hukum agar berkenan memulai proses pengumpulan data dan atau menelusuri sesuai tugas pokok dan fungsinya terhadap kejahatan korporasi PJTKI dan atau pemilik dan atau individual pengendali perusahaan-perusahaan yang terdeteksi sangat dominan melakukan 27.000.000 orang (agregat)
TPPO PMI yakni:
1. PT. PTM yang terkonsolidasi dengan individual berinisial I.
2. PT. EAW yang terkonsolidasi dengan individual berinisial E.
3. PT. ABS yang terkonsolidasi dengan individual berinisial N.
4. PT. ASR yang terkonsolidasi dengan individual berinisial Mamat
5. PT. HKN yang terkonsolidasi dengan individual berinisial R alias H.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain