Jakarta, aktual.com – Pemaparan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto soal chief of law enforcment dalam debat pertama capres-cawapres terkesan ketika terpilih menjadi Presiden, berhak dan leluasa mengintervensi hukum.
Pernyataan Prabowo itu dinilai membahayakan karena seperti hendak mengembalikan ke era Orde Baru dimana presiden memiliki kewenangan mengatur segala.
“Padahal yang dimaksudkan adalah presiden hadir ketika ada kemacetan hukum, bukan mendikte begini atau begitu,” tegas Pengamat Hukum Trisakti, Abdul Fikar Hajar, saat dihubungi di Jakarta, ditulis Sabtu (19/1).
Abdul Fikar menilai, dalam debat pertama soal hukum, HAM, korupsi dan terorisme, Prabowo Sandi dinilai lebih pada mendekati persoalan pada jangka pendek sementara Jokowi Maruf lebih mendekati permasalahan dari sisi persuasif komprehensif dan normative.
Kata dia, Prabowo salah memahami konsep chief lawa enforcement. Seharusnya dipahami bahwa hokum harus bekerja dengan baik sesuai dengan track dan tidak melanggar HAM. Bukan dimaknai dalam pengertian intervensi alias campur tangan.
“Bukan dalam pengertian intervensi harus begini harus begitu. Presiden harus dalam kemacetan penegakan hukum,” tegas dia.
Adapun Direktur Eksekutif Para Syndicate Arif Nurcahyo menilai, Prabowo masih terbawa pemerintahan orde baru. Presiden bisa melakukan kontrol atas hukum itu sendiri.
Ia menangkap bahwa bawah sadar Prabowo bawah sadar orde baru, zaman otoritarian bahwa justru subjek kepala negara menjadi control.
Ari menjelaskan, dalam sistem negara hukum, hukum memayungi di atas segalanya. Termasuk pula melakukan kontrol terhadap presiden. “Kan di balik harusnya hukum kontrol semua aparat negara termasuk presiden, ini kan kebalik,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin