Jakarta, Aktual.com – Dunia dilanda wabah COVID-19, yakni penyakit yang disebabkan infeksi virus corona baru yang diyakini bermula pada akhir 2019 di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.
Sejak saat itu penyebaran wabah COVID-19 telah meluas hingga menjadi pandemi global yang membuat negara-negara di dunia sibuk berupaya menekan jumlah kasus penyakit tersebut dan angka kematian.
Pada awal masa kepanikan terkait penularan luas COVID-19, Pemerintah Amerika Serikat (AS) merupakan salah satu dari sejumlah pemerintah negara yang menyalahkan China atas penyebaran virus corona baru.
Presiden Donald Trump mengatakan China seharusnya bisa menghentikan COVID-19 sebelum virus corona jenis baru itu menyebar ke seluruh dunia.
“Kami yakin bahwa dulu sebenarnya bisa dihentikan di sumbernya. Seharusnya bisa cepat dihentikan dan tidak menyebar ke seluruh dunia,” kata Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih pada 27 April lalu.
AS sangat yakin bahwa Beijing tidak segera melaporkan kemunculan wabah dan menutup-nutupi potensi betapa berbahayanya COVID-19.
AS bersama Australia, negara Uni Eropa dan beberapa negara lainnya kemudian mendorong pelaksanaan penyelidikan internasional atas pandemi virus corona baru.
Trump juga telah menyampaikan bahwa pemerintahannya sedang menjalankan “penyelidikan serius” terhadap apa yang telah terjadi.
“Kami sedang melakukan penyelidikan yang sangat serius. Kami tidak suka dengan China. Ada banyak cara untuk membuat mereka bertanggung jawab,” ujarnya.
Trump sejak masa awal pandemi terus melontarkan kritik dan kecaman mengenai cara China menangani wabah virus corona baru.
Penanganan dan kepemimpinan
Terlepas dari kritik Trump terhadap China dalam menangani COVID-19, Presiden Amerika Serikat itu pun tidak bisa dibilang berhasil dalam penanganan wabah corona di dalam negeri.
Faktanya, Amerika Serikat sekarang menjadi negara pertama di dunia yang paling terdampak COVID-19 dengan jumlah kasus infeksi corona mencapai lebih dari enam juta dan mencatat sekitar 193.000 kematian.
Selain itu, AS di bawah pemerintahan Trump tampaknya mengalami penurunan kemampuan kepemimpinan dunia (global leadership) terutama dalam upaya kerja sama global untuk mengatasi pandemi.
Hal itu ditunjukkan dengan penghentian pendanaan dan pemutusan hubungan AS dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) setelah Trump menuduh organisasi PBB itu menjadi “boneka” China.
Sementara itu, China menentang tuduhan dari Amerika Serikat yang mengatakan bahwa kegagalan awal memungkinkan pandemi virus corona menyebar lebih cepat.
Presiden Xi Jinping menekankan bahwa China bertindak secara terbuka dan transparan, dan mengambil tindakan untuk menyelamatkan nyawa.
“China telah membantu menyelamatkan nyawa puluhan juta orang di seluruh dunia dengan tindakan praktisnya, menunjukkan keinginan tulus China untuk membangun masa depan dan komunitas bersama untuk kemanusiaan,” ucap Xi.
Dia mengatakan China adalah ekonomi besar pertama yang kembali tumbuh selama pandemi, sebuah fakta yang dia katakan menunjukkan ketahanan dan kekuatan negara itu.
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah berpendapat bahwa pemerintah Amerika Serikat tampaknya kewalahan dalam menangani wabah virus corona baru di dalam negeri.
“Pemerintah Amerika Serikat tampaknya bingung menanganinya apalagi masyarakat Amerika susah diatur dan kepaduan sosial di negara itu terbatas,” kata Reza.
“Tidak seperti di China yang setelah menyatakan lockdown dalam waktu sebulan, dan grafik penurunan kasus COVID-19 terlihat jelas,” lanjutnya.
Dia menilai bahwa masa penanganan pandemi COVID-19 menjadi momentum yang menguntungkan bagi China dalam menunjukkan kepemimpinan globalnya.
“Momentumnya menguntungkan China di mana global leadership AS sedang goyang, AS sedang bingung sekarang karena ekonominya menurun. AS juga memutuskan hubungan dengan WHO dengan mengatakan bisa menghemat uang yang disetor untuk WHO padahal itu organisasi PBB,” ujar Reza.
“Ini menunjukkan bahwa AS punya krisis ekonomi tetapi sulit mengakuinya, dan dunia bisa melihat bahwa momentum ini digunakan oleh China dengan sangat baik,” ucapnya.
China menjalankan diplomasi kesehatan di kancah internasional dengan pemberian bantuan alat-alat kesehatan ke berbagai negara, terutama selama masa awal pandemi, serta banyak menjalin perjanjian komprehensif strategis yang berdampak besar.
Beijing juga berjanji menambah sumbangan dana untuk mendukung program penanggulangan dan pengendalian COVID-19 oleh WHO.
Perlombaan vaksin
Selain upaya penanganan, saat ini Amerika Serikat dan China bersama sejumlah negara lainnya berlomba-lomba dalam upaya untuk mengembangkan dan menemukan vaksin yang akan dapat mengakhiri pandemi global COVID-19.
Kedua negara banyak melalukan kerja sama dalam pengembangan calon vaksin untuk penangkal virus corona baru.
Misalnya, sembilan pengembang vaksin terkemuka di AS dan Eropa — Pfizer, GlaxoSmithKline, AstraZeneca, Johnson & Johnson, Merck & Co, Moderna, Novavax, Sanofi dan BioNTech — bekerja sama dalam perlombaan global untuk menemukan vaksin COVID-19.
Pada saat yang sama, China juga menjalin kerja sama pengembangan vaksin dengan banyak negara, salah satunya Indonesia melalui kerja sama antara Bio Farma dan perusahaan biofarmasi Sinovac.
“AS dan China masing-masing mendapatkan tingkat kepercayaan tinggi dari dunia, dan mereka juga memanfaatkan momentum ini untuk persaingan mereka tersebut,” ujar Teuku Rezasyah.
Kedua negara memiliki kepentingan besar untuk menjadi penghasil pertama vaksin penawar virus corona, di mana China sebagai negara yang pertama mendeklarasikan kasus pertama COVID-19 dan AS sebagai negara urutan pertama yang paling terdampak COVID-19.
Dalam upaya menuju penemuan vaksin corona itu pun kedua negara masih terus “bergesekan”, di mana Amerika Serikat pada Mei lalu sempat menuding “aktor siber” terkait China berupaya mencuri riset COVID-19.
“Amerika Serikat mengecam upaya para aktor siber dan para kolektor nontradisional yang terkait China untuk mencuri kekayaan intelektual dan data AS soal virus corona,” kata Menlu AS Mike Pompeo.
Pernyataan Pompeo mucul sehari setelah FBI dan Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengeluarkan pernyataan bersama untuk meningkatkan kesadaran akan adanya ancaman terhadap penelitian terkait COVID-19 dari pelaku yang terkait dengan China.
Pernyataan itu menyebutkan bahwa FBI sedang menyelidiki pembobolan digital di organisasi AS oleh “aktor siber” terkait China, yang menurut pantauan sedang “berupaya mengidentifikasi dan secara ilegal mencuri kekayaan intelektual berharga dan data kesehatan masyarakat terkait dengan vaksin, pengobatan, dan pengujian dari jaringan dan personel yang berafiliasi dengan penelitian terkait COVID-19.”
Persaingan hegemoni
Di tengah pandemi global COVID-19 yang masih berlangsung, ketegangan dan persaingan hegemoni antara AS dan China, yang sudah tinggi setelah perang dagang tahun lalu, semakin meningkat tahun ini.
Beijing memang menghadapi kritik di dalam dan luar negeri pada masa awal wabah, dengan beberapa menggambarkan COVID-19 sebagai “Chernobyl China”, mengacu pada kecelakaan nuklir 1986 yang menghancurkan kepercayaan pada kemampuan Uni Soviet untuk memerintah.
Namun, ketika infeksi menyebar ke seluruh dunia dan menunjukkan perlambatan di dalam negeri, Beijing menjadi lebih tegas, menolak penyelidikan global tentang asal-usul wabah, dan mengatakan tindakan cepatnya membantu mengulur waktu bagi negara lain untuk bersiap.
Beijing pun telah berusaha untuk fokus pada keberhasilan China dalam mengatasi virus daripada tentang asal-usulnya.
Selanjutnya, beberapa pihak, khususnya AS dan sejumlah negara sekutunya, memandang bahwa China semakin menunjukkan perilaku arogan di kawasan Indo-Pasifik dengan memanfaatkan kesibukan negara-negara dalam menangani pandeminya masing-masing.
China memang telah memperketat cengkramannya di Hong Kong melalui penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional yang baru serta meningkatkan tekanan pada Taiwan untuk menerima kedaulatannya atas pulau itu.
Pemimpin Taiwan Tsai Ing-wen pada Selasa (8/9) menyeru pendukung demokrasi untuk mempertahankan diri dari “tindakan agresif” China di Laut China Selatan dan Selat Taiwan yang dinilai sebagai ancaman utama bagi stabilitas regional.
“Militerisasi cepat Laut China Selatan, meningkatnya dan seringnya taktik zona abu-abu di Selat Taiwan dan Laut China Timur, diplomasi koersif yang digunakan terhadap negara dan perusahaan…semuanya membuat kawasan Indo-Pasifik tidak stabil,” kata Tsai, tanpa langsung menyebut China.
China, yang mengklaim Taiwan sebagai miliknya, memang telah meningkatkan aktivitas militernya di sekitar pulau itu, serta di Laut China Selatan dan Timur yang disengketakan.
Pemerintah China pada September menyampaikan akan mengadakan lebih banyak latihan militer di sepanjang pantai timur laut dan pantai timurnya. Sebelumnya pada Agustus, Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) mengirimkan pasukan lengkap ke wilayah perairan Laut China Selatan dan Selat Taiwan.
Menyikapi berbagai aksi China itu, AS berusaha meredam upaya dominasi China di kawasan, salah satunya dengan meningkatkan dukungan bagi pertahanan Taiwan. Amerika Serikat belum lama ini menyetujui paket peningkatan rudal Taiwan senilai Rp8,9 triliun.
AS tidak menjalin hubungan diplomatik formal dengan Taiwan, namun menjadi pemasok senjata terbesar untuk wilayah itu.
Selain itu, kapal perang AS — USS Halsey — pada Agustus singgah sebanyak dua kali di Selat Taiwan di tengah ketegangan hubungan dengan China.
Pemerintah China pun akhir-akhir ini mengeluh tentang misi militer AS yang berulang di wilayah Laut China Selatan.
Terkait dengan persaingan AS-China di masa depan dalam menebar dan menanamkan pengaruhnya secara global, Rezasyah menilai posisi AS saat ini masih unggul.
“AS saat ini masih punya surplus power yang cukup besar tetapi kecenderungannya menurun karena faktor kepemimpinan Donald Trump yang tidak kokoh di dalam negeri. Selain itu, kondisi ekonomi dan rasa percaya diri AS menurun akibat pandemi COVID-19,” ungkapnya.
Dia menambahkan, integrasi AS di dalam negeri pun menurun karena sering terjadi konflik rasial, dan pada saat yang sama keadaan politik dalam negeri China stabil dengan ekonomi yang terus naik atau bertahan.
“China berhasil membuktikan bahwa pemerintahannya sangat stabil dengan jaringan diplomatik dan ekonomi globalnya yang sangat menjelajah dunia,” ujar Reza.
“Yang terjadi sekarang adalah AS yang selama ini memiliki surplus power itu menurun perlahan sementara China juga naiknya sangat sistematis. Jadi proses (pergeseran kekuasaan) antara kedua negara itu seperti ayunan yang bergerak,” lanjutnya.
Menurut dia, dunia sedang melihat Amerika Serikat menggerogoti dirinya sendiri dalam aspek kepemimpinan global, misalnya dengan keputusan Trump yang membuat AS keluar dari berbagai perjanjian internasional — seperti Perjanjian Paris soal Perubahan Iklim — serta mengingkari sejumlah perjanjian regional.
“Pada intinya, hegemoni kedua negara memang terjadi, tetapi selisih kekuasaan semakin tipis antara AS dan China. Kalau AS tetap dipegang oleh Trump dimana dia tidak bisa membangun kepaduan dalam negeri dan masih sembarangan memilih tokoh-tokoh untuk bidang polugri dan diplomasi maka itu berbahaya bagi AS,” katanya.
“Kalaupun Trump nantinya digantikan oleh Joe Biden, Biden akan perlu waktu untuk membangun kembali basis kekuatan. Ini tidak mudah karena COVID-19 telah merontokkan kekuatan AS,” ucap Reza menambahkan.
Akan tetapi, dia juga berpendapat bahwa semerosot apa pun kepemimpinan global AS saat ini, Negeri Paman Sam itu masih akan dipandang lebih baik daripada China oleh negara-negara dunia ketiga karena AS lebih demokratis.
Dia memperkirakan, bila memakai ukuran 100 persen, sekitar 52 persen negara di dunia saat ini akan lebih condong ke AS dan 48 persen condong ke China walaupun China sudah berhasil menciptakan ketergantungan ekonomi banyak negara kepadanya melalui investasi, jaminan ekspor-impor yang baik, serta bantuan dari lembaga penelitian dan ekonomi China.
“Sejelek-jeleknya AS, tetapi dia masih dipandang lebih baik daripada China karena AS demokratis dan sudah lama membina masyarakat dunia lewat prinsip-prinsip demokrasi, tetapi memang sekarang AS sedang sakit,” ucapnya.
Bila dua negara kekuatan dunia itu diibaratkan sebagai raksasa maka Amerika Serikat adalah raksasa yang sedang sakit sementara China adalah raksasa yang sedang menguat. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin