Jakarta, Aktual.com — Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan permintaan maaf Panglima TNI atas peristiwa penembakan yang dilakukan oleh anggota Kostrad dan komitmen penyelenggaraan peradilan militer secara terbuka, tidak cukup menunjukkan komitmen TNI untuk menuntaskan kasus-kasus pidana umum oleh personel TNI secara adil, transparan dan akuntabel.

“Masalah utama bukan terbuka atau tertutupnya pelaksanaan peradilan, tetapi justru pengingkaran asas persamaan di muka hukum (equality before the law) yang merupakan asas hukum dan peradilan yang dijamin konstitusi,” kata Ketua Setara Institute, Hendardi di Jakarta, Jumat (6/11).

Sebelumnya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo meminta maaf kepada keluarga tukang ojek bernama Japra yang tewas ditembak anggota Divisi Infanteri Kostrad, Cilodong,� Serda YH di kawasan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/11). Panglima wanti-wanti kepada anak buahnya agar jangan sampai peristiwa itu terulang lagi.

Panglima memastikan Serda YH bakal diproses hukum. Menurutnya, TNI tak akan menutup-tutupi tindakan Serda YH.

Lebih lanjut Hendardi menegaskan mempertahankan peradilan militer untuk mengadili pelaku pidana umum yang melibatkan personel TNI adalah pelanggaran konstitusi.

“TNI adalah manusia biasa jika melakukan pidana umum. Peradilan Militer hanya untuk mengadili jenis pidana militer bukan pidana umum yang dilakukan oleh militer,” kata Hendardi.

Menurut Hendardi, karena peristiwa impunitas atas anggota TNI yang melakukan pidana umum ini berulang, maka sebaiknya UU Peradilan Militer diubah.

“Pemerintah dan DPR harus melakukan terobosan hukum, sambil menunggu proses legislasi di DPR,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: