Sejumlah siswa SMPN 41 Jakarta bersiap mengikuti Ujian Nasional (UN) hari pertama tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 41, Jakarta Selatan, Senin (9/5/2016). Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebanyak 4.208.388 pelajar tingkat SMP atau sederajat di Indonesia tercatat sebagai peserta UN dan melaksanakan ujian secara serentak pada 9-12 Mei 2016.

Jakarta, Aktual.com – Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk mempertimbangkan gagasan ‘Full Day School’ atau sekolah sehari penuh.

Koordinator JPPI Abdul Waidl, mengatakan, dengan sekolah sehari penuh maka Mendikbud telah menyempitkan makna pendidikan, bahwa sekolah sehari penuh siswa bisa memiliki karakter secara pribadi maupun sosial.

Mengutip Muhadjir dia menyatakan, sekolah sehari penuh dimaksudkan untuk pembentukan karakter, yakni agar seorang anak dapat tangguh dalam menghadapi kompetisi dan dapat terhindar dari pengaruh buruk pergaulan.

“Watak tersebut akan mendorong seorang peserta didik yang kuat secara pribadi dan terlibat aktif dalam solidaritas dan empati sosial. Sedang Pak Menteri mengurangi keluasan pendidikan karakter pada kekuatan berkompetisi, yang bila tidak berhati-hati cenderung mematikan solidaritas sosial dan toleransi,” kata Waidl di Jakarta, Selasa (9/8).

Kemudian gagasan Sekolah Sehari Penuh bias kota dan masyarakat kelas menengah/kaya. Usulan tersebut mengasumsikan bahwa semua orangtua memiliki pekerjaan yang memakan waktu sehari penuh dan jarak letak pekerjaan yang jauh antara orangtua dan anak (siswa).

“Di desa, tentu keadaan tersebut tidak berlaku, dan bagi keluarga tidak mampu anak adalah bagian dari keluarga yang memiliki tugas lain selain bersekolah,” kata dia.

Selain itu, usulan Sekolah Sehari Penuh juga bias agama, karena pengandaiannya setelah mata pelajaran umum, anak akan lebih banyak disuruh ngaji dari pada bermain kemana-mana.

Tentu pengandaian ini kurang tepat karena kenyataan keragaman siswa sekolah dan pendidik. Keragaman adalah realitas yang harus difasilitasi dalam kebijakan, bukan dikotak-kotak.

Gagasan tersebut juga dianggap mengabaikan pilar utama pendidikan adalah keluarga dan masyarakat, bukan lembaga sekolah formal.

Pendidikan karakter dapat matang karena hubungan keluarga dan sosial, bukan semata penguasaan formal materi pelajaran. Kematangan seorang siswa tentu bukan hanya ditentukan oleh tembok sekolah, tapi oleh pergaulan yang ramah dan teladan dari orangtua, masyarakat, dan guru.

“Pak Menteri juga keliru kalau membayangkan bahwa sumber kekerasan (perkelahian pelajar dan narkoba) adalah karena waktu di sekolah yang kurang,” tambahnya.

Menurut dia, ada banyak faktor yang menyebabkan kekerasan menjadi alat menyelesaikan masalah, seperti tindakan yang tidak tegas dan teladan yang tidak ada. Bahkan, bukan tidak mungkin kekerasan menjadi pelampiasan dari kejenuhan mengikuti pendidikan formal yang lama dan tidak menyenangkan.

JPPI juga meminta Mendukbud lebih memerhatikan keragaman ekonomi, sosial, politik, dan geografi siswa agar tidak diseragamkan dalam satu kebijakan (tunggal).

“Ini salah satu tugas seorang menteri, agar keragaman menjadi energi dan tetap terfasilitas kebutuhan akan pendidikan.”

 

(ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara