Jakarta, Aktual.co — Keluhan PT Pertamina yang mengatakan mengalami kerugian mencapai USD212 juta atau sekitar Rp2,7 triliun dinilai Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI lantaran telah terjadi inefisiensi di tubuh perusahaan plat merah tersebut.

Pasalnya, Pertamina diketahui sebagai BUMN terbesar dengan 100 persen saham milik pemerintah. Perusahaan ini dalam sejarahnya pernah menjadi perusahaan terbesar di Asia. Namun anehnya, perusahaan ini sekarang mengalami kerugian yang besar, terperangkap dalam utang dan operasional merugi.

“Pertamina sebagai BUMN dihancurkan secara sistematis melalui pertama, berbagai Undang-Undang (UU) yakni UU Penanaman Modal, UU Migas, UU BUMN hingga UU otonomi daerah telah secara sistematis menyerahkan kekayaan alam, sumber keuangan kepada asing. UU tersebut menjadikan Pertamina dari perusahaan terbesar di Asia, menjadi kurcaci,” ujar peneliti dari Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng kepada Aktual di Jakarta, Jumat (10/4).

Kedua, lanjutnya, Pertamina memperoleh perlakuan diskriminatif dalam sektor hulu migas. Hal ini berbeda dengan perusahaan perusahaan seperti Petronas, Saudi Aramco, dan BUMN lainnya yang memperoleh perlakuan istimewa di negaranya masing masing. Belum lagi perusahaan perusahaan asing di dalam negeri memperoleh berbagai macam insentif dan fasilitas fiskal.

“Ketiga, Pertamina dihancurkan dengan memecah belah usaha usaha migas, memecah penguasaan minyak dana gas kepada Pertamina dan PGN. Sementara PGN dibiarkan sekarat dalam utang besar dan penguasaan asing. Pengelolaan gas untuk kebutuhan nasional tidak optimal,” tambahnya.

Belum lagi ditambah birokrasi negara yang merecoki Pertamina sangat banyak, mulai dari Presiden, Menteri BUMN, menteri ESDM, SKK Migas, BPH migas, hingga pemerintah daerah.

“Akibatnya Pertamina seperti bangkai digerogoti lalat,” jelasnya.

Kelima, Pertamina saat ini dipimpin oleh orang yang tidak mengerti migas. Dirut Pertamina Dwi Soetjipto tidak memahami seluk beluk bisnis migas. Sehingga tidak mengerti bagaimana mafia dalam bisnis migas dan secara sengaja dan tidak sengaja terlibat dalam jaringan mafia migas.

Selain itu, kebijakan pemerintah Jokowi yang mencabut subsidi BBM hingga 300 persen dalam APBNP 2015 turut memperparah Pertamina. Padahal target penerimaan fiskal pemerintah sangat besar, tahun ini meningkat hingga 40 persen. Anehnya kenapa subsidi yang dicabut.

“Faktor ke-enam yaitu Utang luar negeri Pertamina yang besar ke pasar keuangan global yang jumlahnya mencapai Rp100 triliun. Uang hasil utang tersebut tidak jelas alokasinya. Diduga ladang ladang minyak yang dibeli pertamina di luar negeri bisa jadi bodong,” tegasnya.

Menurutnya, Rencana untuk mendorong pertamina melakukan IPO melalui bursa efek adalah strategi untuk menyerahkan Pertamina ke tangan swasta, secara khusus ke tangan swasta asing. Rencana penjualan pertamina secara tidak langsung melalui bursa efek dijadikan sebagai sumber penerimaan pemerintah dari penjualan BUMN Pertamina.

“Bahkan pemerintah memaksa Pertamina membeli minyak minyak mentah dari perusahaan, trader, ditas harga pasar. Diduga ada banyak mafia minyak yang mengatur suppy minyak mentah pasca pembubaran Petral,” terangnya.

Faktor lain yaitu, Pemerintah memaksa Pertamina menjual BBM tanpa subsidi pada tingkat di bawah harga pasar. Pertamina dipaksa menjalankan bisnis merugi, sedangkan pemerintah tidak mau menutupi kerugian tersebut.

Bahkan, Pertamina dipaksa membayar berbagai jenis pajak, pungutan lain lain dan pungutan pemerintah daerah dalam jumlah besar. Pertamina dijadikan sandaran peningkatan penerimaan pajak.

“Pertamina juga mmenghadapi beban bunga yang sangat tinggi dalam operasinya di Indonesia, bunga di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia,” jelasnya.

Menjadi keyakinan publik bahwa Elite Politik baik pemerintahan maupun DPR menjadikan Pertamina sebagai ATM mereka untuk membiayai politik. Ditambah lagi, burukknya manajemen pertamina yang terkontaminasi ekonomi neoliberal dan politik korup.

“Manajemen Pertamina ambruk semakin terkontaminasi dalam iklim ekonomi neoliberal dan politik yang korup, sehingga manajemen semakin kapitalistik dan cenderung semakin korup,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka