Pekerja menata tabung Bright Gas 5,5 Kg usai dilakukan pengisian di Depot and Filling Station LPG Pertamina Plumpang, Jakarta, Selasa (3/11). LPG non-Subsidi yang dibanderol dengan harga Rp66.000 per 5,5 kilogram gas ini ditargetkan dapat merebut 23 persen pangsa pasar gas subsidi 3 kg dalam waktu lima tahun. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./pd/15

Jakarta, aktual.com – PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga jual gas Elpiji (LPG) Non Subsidi 5,5 Kg dan 12 Kg sebagai respon perusahaan terhadap kemandirian energi. Kebijakan menaikkan LPG non subsidi ini rawan dipolitisasi oleh sebagian masyarakat yang memang selalu ingin menciptakan kegaduhan menyerang pemerintah.

Menyikapi hal tersebut, Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov meminta Pertamina untuk mengantisipasi adanya migrasi dari LPG nonsubsidi ke LPG subsidi. Pasalnya, kenaikan LPG non subsidi akan mengakibatkan peralihan penggunaan LPG 12 kg dan 5,5 kg ke LPG subsidi 3kg.

“Tapi yang perlu dipastikan jangan sampai pasokan LPG subsidi ini timpang antar wilayah, ini akan pengaruhi daya beli masyarakat. Kalau pasokan ini terganggu, nanti terpaksa harus beli LPG nonsubsidi. Kuncinya, kalau masalah di lapangan jaminan LPG subsidi ini harus proporsional antar wilayah,” kata Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov kepada wartawan di Jakarta, Selasa (28/12).

Menurutnya, kenaikan LPG non Subsidi bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk peralihan ke energi yang lebih bersih. Misalnya disamping penggunaan kompor gas, masyarakat yang mampu akan melirik kompor listrik atau induksi. “Alternatif energi, pemerintah punya mimpi untuk proyek gasifikasi batubara, proyek DME (Dimethyl Ether) saat ini dapat momentum untuk dipercepat, ini jadi semakin luas,” katanya.

Dengan demikian, ia menuturkan ada tiga hal yang bisa jadi alternatif yakni, DME, Jaringan Pipa Gas (Jargas) dan kompor tenaga listrik atau induksi. “Ujungnya bisa lepas dari impor LPG karena konsumsi LPG kita naik, tahun lalu aja, konsumsi 8,8 juta ton, dan tahun sebelumnya 7,7 juta ton. Bahkan di 2024 diprediksi naik ke 11,9 juta ton, kalau pemerintah tak siapkan alternatif LPG ini, lama-lama kita akan bergantung dengan LPG. Apalagi harga yang meroket pasti akan bergantung ke impor,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean menilai kebijakan menaikkan harga LPG non Subsidi sama sekali tidak mengganggu hak subsidi kalangan tidak mampu atau masyarakat bawah yang selama ini menggunakan elpiji 3 Kg atau yang suka disebut dengan istilah Gas Melon. “Kenaikan harga elpiji Non Subsidi ini hanya untuk elpiji jenis tertentu yang selama ini digunakan oleh kalangan mampu,” kata Ferdinand Hutahaean.

Menurutnya, masyarakat tak perlu memperdebatkan kenaikan LPG karena kenaikan harga ini diperuntukkan untuk kalangan mampu yang menggunakan LPG 5,5 Kg dan 12 Kg. Kenaikan ini juga sebagai bentuk Keadilan sosial karena keuntungan yang didapat Pertamina dari kalangan mampu akan digunakan untuk mensubsidi masyarakat bawah.

“Kami berharap agar Pertamina intens memberikan penjelasan ke publik soal ini, supaya tidak ada masyarakat yang salah pengertian, salah memahami dan akhirnya terjadi kepanikan. Masyarakat harus dijelaskan bahwa yang naik ini harga elpiji non subsidi bagi kalangan mampu bukan elpiji 3 Kg yang biasa disebut Gas Melon,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka