Jakarta, Aktual.co — Pada Januari 2015 PT Pertamina (Persero) mencatat kerugian mencapai USD35 juta (Rp 420 miliar). Kerugian pertamina bisa disebabkan turunnya harga minyak dunia yang mendekati harga biaya produksi sehingga menurunkan pendapatan perusahaan.
“Namun, kerugian yang diderita Pertamina pada awal tahun juga tidak lepas dari jebolnya kuota subsidi BBM tahun 2014 yang semuanya dibebankan kepada pertamina,” ujar direktur eksekutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean kepada Aktual di Jakarta, Selasa (10/3).
Dirinya sudah memperingatkan sejak trend harga minyak turun, bahkan pertamina terancam tidak bisa menggaji karyawannya jika harga minyak turun terus. Untuk menekan kerugian, Pertamina harus melakukan efisiensi secara menyeluruh. Namun sayangnya Pertamina tidak berbenah diri untuk menghindari kerugian. Akhirnya pilihan paling mudah adalah menaikkan harga produk pertamina baik itu BBM maupun gas.
”Pertamina harus mengevaluasi biaya produksi yang terlalu tinggi, karena tingginya biaya produksi pertamina mengakibatkan kerugian terus-menerus. Ini tidak boleh dibiarkan. Pertamina jangan menyalahkan harga minyak dunia sebagai alasan kerugian. Kerugian ini lebih kepada kegagalan direksi pertamina untuk berbenah dan melakukan efisiensi,” tegasnya.
Saat situasi seperti ini, lanjutnya, Pertamina perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh operasionalnya. Terlalu gemuknya SDM pertamina berpengaruh pada biaya produksi.
“Saya belum melihat konsep dan strategi dari kementerian BUMN serta Direksi membawa Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia ke depan. Saya hanya melihat bahwa direksi Pertamina dan kementerian BUMN hanya punya ilmu cari utang dan menaikkan harga untuk menjalankan roda perusahaan. Sama sekali tidak ada strategi yang dirancang bagaimana supaya Pertamina bisa untung tanpa harus menaikkan harga,” tambahnya.
Menurutnya, banyaknya pemborosan dalam operasional menjadi penyebab kerugian Pertamina, kesalahan manajemen Dwi Soetjipto yang tidak mampu menelorkan kebijakan antisipatif dan responsif membuat pertamina jadi gamang dan hanya mampu menelorkan kebijakan reaktif.
”Bagaimana fit and proper test Dwi Soetjipto, apakah ditanya tentang strategi pembenahan Pertamina ke depan, ditanya tidak bagaimana mengatasi kebocoran di dalam, atau hanya ditanya mampu cari utangan tidak? Berani naikin harga tidak? Inilah yang disesalkan dari pemilihan direksi pertamina secara tertutup,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka