Jakarta, Aktual.com — Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Wianda Pusponegoro membantah keras adanya isu yang berkembang bahwa pembangunan terminal LNG (Gas Alam Cair) di Bojanegara, Banten, Jawa Barat terjadi perebutan besaran pembagian saham antara PT Bumi Sarana Migas (Kalla Group), Mitsui, Pertamina, dan PLN.

Sebelumnya diketahui bahwa proyek LNG Receiving terminal tersebut bakal dikerjakan oleh PT Bumi Sarana Migas (BSM) Konsorsium Company yang terdiri dari PT Bumi Sarana Migas, Tokyo Gas, Mitsui dan Pertamina.

Berdasarkan Akte Keputusan Rapat No.03, tanggal 15 Juli 2014, oleh M. Natsir Thaif, SH, Notaris di Kabupaten Maros Sulsel, PT Bumi Sarana Migas berisikan bahwa:

1. Maksud/tujuan usaha: Menjalankan Usaha-usaha di bidang Ketenagalistrikan.
2. Modal Dasar Rp40 Miliar
3. Modal Disetor sebesar Rp10 Miliar terdiri dari pemegang saham:
a) PT. Bumi Sarana Utama pemegang saham mayoritas.
b) PT.Maega Berkah sebagai pemegang minoritas.
4. Susunan Direksi dan Komisaris
a) Direktur Utama: Dra. Hj. Fatimah Kalla
b) Direktur; Tuan Haji Solichin Jusuf Kalla
c) Komisaris Utama; Ir. Hj. Farida Kalla
d) Komisaris; Andi Burhanuddin Lestim, SE, MM

Sedangkan PT. Nusantara Gas Services (PT PMA) dengan Izin Prinsip Penanaman No.1740/1/IP/PMA/2014 adalah perusahaan yang akan menjadi operator PT BSM untuk mengoperasikan terminal Bojanegara Banten, terdiri dari

1. Tujuan usaha: Industri Pemurnian dan Pengolahan Gas
2. Modal Dasar Rp500 Miliar.
3. Modal Disetor Rp125 Miliar oleh:
a) PT. Bumi Sarana Migas Rp25 Miliar
b) JKM Capital Pte Ltd Rp100 Miliar
4. Susunan Direksi dan Komisaris
a) Direktur: Ir. Achmad Faisal
b) Komisaris Utama: Solihin Jusuf Kalla
c) Komisaris Ir. Ari Hermanto Soemarno.

Kerjasama ini diketahui sudah sampai pada tahap penandatanganan Head of Agreement (HoA) yang dilakukan pada 1 April 2015 lalu oleh Direktur Energi Baru dan Terbarukan Pertamina Yenni Andayani dan Direktur PT Bumi Sarana Migas Solihin Kalla serta disaksikan langsung oleh Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto.

Berdasarkan data yang diperoleh Aktual, jika dibandingkan dengan proyek Pertagas FSRU Cilamaya LNG Company, penjualan regasified LNG dilakukan dari Pertagas Cilamaya langsung ke End Customer (IPP Jawa, IPP Sunyarangi dan Pertamina Balongan). Sehingga Pertamina tidak menanggung resiko penyerapan pasar.

Selain itu, perbandingan kesiapan pasokan gas untuk proyek IPP Jawa-1 lebih baik FSRU Cilamaya. Direncanakan IPP Jawa-1 bakal menerima pasokan gas pada mei 2018, sedangkan FSRU Cilamaya direncakan akan selasai pada awal tahun 2018.

Kemudian, Land Based LNG regasification Terminal Bojanegara belum diketahui kapan akan selesai melakukan pembebasan lahan dan pembangunan infrastruktur, termasuk pipa lebih dari 150 Km.

Apabila dilihat dari Business Structure BSM LNG Land regasification Plant, Konsorsium BSM (BSM,Tokyo gas, Mitsui, Pertamina) akan menjual kepada PT Pertamina. Pertamina menjadi offtaker gas dari konsorsium BSM, kemudian ke final gas buyer seperti PLN, pelabuhan atau market.

Pembebanan Pertamina sebagai offtaker tak lazim dilakukan sebab Pertamina menanggung risiko penyerapan gas market, menanggung pembangunan fasilitas transmisi gas dari Bojanegara ke Muara Karang, menanggung penalty keterlambatan penyaluran gas, bahkan dilihat dari analisa management risiko posisi Pertamina sangat tidak aman.

Namun demikian Wianda Pusponegoro menepis adanya isu perebutan saham yang terjadi, dia menegaskan bahwa proyek tersebut belum ada keterikatan apapun, sehingga Pertamina tidak akan dirugikan.

“Tidak ada pembagian persentase, kita memang butuh terminal LNG darat, tapi Pertamina tidak membuka tender, kebetulan ada konsorsium ini yang menawarkan ke Pertamina, tapikan tentunya Pertamina sebagai pihak yang ditawarkan berhak mereview, jadi hingga saat ini kita belum punya kewajiban apa-apa, yang ada baru kesepakatan untuk melakukan joint study untuk melakukan kajian dan evaluasi. Sebenarnya siapapun bisa menawarkan diri sehingga kita bisa melihat seberapa kompetitif harga yang ditawarkan,)” pungkas Wianda, Rabu (11/5).

Berdasarkan isu yang berkembang, Mitsui meminta mayoritas saham yakni sebesar 55 perse, namun BSM menolak permintaan itu karena BSM merasa pihaknya merupakan inisiator dari proyek tersebut.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan