Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyampaikan presentasi seputar krisis yang melanda Indonesia usai melakukan pertemuan tertutup dengan Ketua MPR yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan di Jakarta, Senin (25/6). Pertemuan tersebut sebagai ajang silaturahmi serta membicarakan tentang pilkada serentak serta meminta TNI dan Polri untuk netral dalam pilkada. AKTUAL/Tino Oktaviano

Konon menurut seorang pengrajin batik, kemeja batik yang dikenakan mantan Presiden RI SBY adalah batik sido mukti yang kerap dikenakan saat acara perkawinan. Adapun yang dikenakan oleh Prabowo Subianto adalah batik Parang Rante. Sido mukti mengisyaratkan harapan akan terciptanya kesejahteraan, dan Parang Rante melambangkan rante pengikat yang tak terputus.

 

Apakah ini berarti SBY dan Prabowo bakal menciptakan suatu aliansi strategis lima tahun ke depan seperti yang tersurat dari pernyataan SBY seusai pertemuan dengan Ketua Umum Partai Gerindra semalam? Lantas apa otomatis aliansi strategis itu bermuara pada duet Prabowo-AHY? Agaknya perjalanan masih panjang.

 

Namun satu hal pasti, koalisi Demokrat-Gerindra akan mempengaruhi konstelasi partai—partai yang sedang ancang-ancang mnewarkan format koalisi baik kepada presidetan petahana Jokowi dan capres Prabowo.

 

Peta suara pasca Pemilukada yang baru saja berakhir pada Juni lalu agaknya jadi dasar pertimbangan utama Prabowo dan SBY untuk saling merapat satu sama lain. Kemenangan Khofifah Indarparawansa sebagai gubernur Jawa Timur, secara riil politik SBY punya kartu yang cukup kuat untuk bargaining position baik kepada Jokowi maupun kepada Prabowo. Begitu pula hasil di Jawa Tengah.

 

Meski Ganjar Pranowo yang diusung oleh PDIP menang tipis atas rivalnya Sudirman Said, namun secara de fakto faktor dukungan SBY melalui Demokrat dan wibawa dari Kiai Maimun Zubair dari PPP yang kebetulan putranya merupakan wakil gubernur pendamping Ganjar, pada gilirannya juga memperkuat bargaining position SBY.

 

Artinya, di Jawa Tengah yang selama ini seakan merupakan daerah jantung PDIP, kali ini sudah tidak seperti itu lagi. Megawati dan SBY harus berbagi kekuasaan di Jawa Tengah.

 

Di Jawa Barat baik mengingat Nasdem dan Hanura memainkan peran sentral di balik kemenangan Ridwan Kamil sebagai gubernur, tercipta keseimbangan kekuatan antara Megawati, Jusuf Kalla, SBY dan Prabowo. Di Sumatra Utara, kemenangan Edi Rachmayadi yang mantan Pangkostrad itu, Prabowo dan SBY berbagi kekuasaan di propinsi yang selama ini juga diklaim jadi daerah jantung kekuatan PDIP di Sumatra.

 

Melalui konstelasi sekilas hasil peta suara di beberapa daerah strategis tersebut, amat logis ketika SBY dan Prabowo merapat satu sama lain untuk membangun format koalisi menuju Pilpres 2019.

 

Menurut bacaan saya, wacana menduetkan Prabowo dan AHY pada taraf sekarang hanyalah untuk membangun momentum persekutuan strategis yang selama ini terkendala oleh hubungan pribadi yang tidak serasi antara SBY dan Prabowo.

 

Padahal, sebagai sama-sama angkatan 1973 Akademi Militer Nasional (AMN), secara korps sebenarnya cukup kompak. Bahkan dengan AMN angkata 1974 yang mana Prabowo kemudian tercatat sebagai salah satu alumninya oleh sebab pernah tidak naik klas setahun.

 

Namun untuk memuluskan duet Prabowo-AHY nampaknya tidak mudah. Masuknya nama Anies Rasyid Baswedan dalam bursa wapres pendamping Prabowo, mengisyaratkan desakan kuat dari Jusuf Kalla. Bahkan jika memungkinkan, JK lebih sreg dengan skema mencapreskan Anies melalui koalisi dengan Gerindra, dan Prabowo mengalah sebagai king maker.

 

Namun dengan perkembangan terkini yang mana Prabowo dan SBY semakin solid untuk berkoalisi, maka skenario JK agaknya akan mentah. Apalagi tiba-tiba keluar Kepres yang mana gubernur yang bermaksud mencalonkan diri sebagai capres, harus dapat izin dari presiden. Melalui perkembangan terkini itu, manuver JK terkunci.

 

Di kubu Jokowi santer muncul beberapa kandidat cawapres seperti Puan Maharani, Kepala BIN Budi Gunawan, Sri Mulyani Indrawati, dan Mahfud MD. Dari kalangan parpol, yang berpeluang adalah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto.

 

Perebutan cawapres di kubu Jokowi agaknya jauh lebih rumit, bukan karena perpecahan antara Jokowi dan Megawati seperti terkesan melalui pemberitaan beberapa media. Masalah krusial adalah perbedaan strategi dan cara pandang politik antara kader-kader struktural dan non-struktural PDIP. Meskipun yang jadi putusan akhir adalah Megawati.

 

Pada tataran ini, kalangan non-struktural PDIP yang dimotori oleh Luhut Panjaitan, menjagokan Sri Mulyani yang saat ini menteri keuangan. Airlangga jadi alternatif ketika SMI dapat resistensi dari kader-kader struktural PDIP.

 

Selain itu, Mahfud MD juga jadi calon alternatif yang cukup diperhitungkan mengingat punya irisan politik ke berbagai lini. Sebagai warga NU, Mahfud tentunya punya basis dukungan dari beberapa kiai dan pesantren, meski  tidak terlalu banyak. Mahfud juga alumni Himpunan Mahasiswa Isla (HMI) yang tentunya punya basis dukungan kuat dari beberapa jejaring alumni HMI berbagai daerah.

 

Dalam hal dukungan dari NU dan alumni HMI sebagao aset politik, Mahfud pastinya jadi bahan pertimbangan penting kubu Jokowi. Sayangnya basis dukungan dari jejaring komunitas bisnis, Mahfud tidak bisa disamakan dengan JK. Sehingga menjadikan peluang Mahfud jadi minus meskipun punya aset politik dari jejaring NU dan alumni HMI.

 

Dalam situasi demikian, terlepas AHI pada akhirnya jadi cawapres pandamping Prabowo atau tidak, namun selama skema persekutuan strategis Prabowo-SBY tetap solid dan kompak, maka persekutuan ini akan jadi sarana dukungan jejaring NU non organik untuk mendukung pencapresan Prabowo.

 

Dua kali kemenangan SBY pada Pilpres 2004 dan 2009, salah satunya karena dukungan 54 persen warga NU dari berbagai pelosok. Meskipun capres pesaing SBY selalu didukung NU organik seperti ketika Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi jadi cawapres pendamping Mega, dan pada 2009 ketika JK-Wiranto juga dapat dukungan dari NU organik.

 

Pertanyaannya, apakah efektif dan taktis dengan menduetkan AHY putra sulung SBY sebagai cawapres pendamping Prabowo? Mengingat fakta lain yang cukup menarik pada Pemilukada Juni lalu, para calon yang beraroma dinasti politik justru mengalami kekalahan tragis?

 

Kita lihat saja nanti.  Yang jelas, permainan dadu bergulir kembali.

Hendrajit, redaktur semior.