Pengamat INDEF, Enny Sri Hartati (kanan) dan Anggota DPR F-Partai Golkar, Misbakhun (kiri) saat diskusi dialektika demokrasi dengan tema Tax Amnesty, Jangan Seperti “Tak Ada Akar, Rotan Pun Jadi” di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (1/9). Dana tebusan dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang didapatkan baru mencapai Rp 2 triliun. Angka itu masih jauh dari target sebesar Rp 165 triliun. Pemerintah disarankan mengubah strategi sosialisasi. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Anggota Badan Legislasi DPR RI, Misbakhun berharap revisi Undang Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat lebih mengedepankan iklim perekonomian nasional.

Menurutnya, demokrasi ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang atau jasa.

“Dengan demikian, akan tercipta iklim usaha yang sehat, efisiensi ekonomi, dan berkeadilan. Sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar,” tandas Misbakhun di Jakarta, Kamis (1/12).

Pasalnya, menueut dia, filosofi UU 5/1999 ini untuk menciptakan iklim fairplay dalam berbisnis sehingga terwujud demokrasi ekonomi. Dengan begitu akan terjadi keseimbangan antara pelaku usaha dan kepentingan umum.

“Jadi, revisi UU ini harus menghindar dari akibat terciptanya lingkungan usaha yang tidak kondusif yang membuat ketakutan dunia usaha dan investor, sehingga berakibat pada kondisi ketidakstabilan perekonomian nasional,” tegas Misbakhun.

Menurut politisi Golkar ini, substansi revisi UU tersebut, pertama, harus melindungi pelaku usaha kecil dan pelaku usaha dalam negeri. Kedua, besarnya potensi abuse of power dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait fungsi pelaporan, penyelidikan, penuntutan dan pemutusan yang berada dalam satu atap.

Dan ketiga, dampak dari kesewenangan KPPU dalam memutuskan kartel adalah dapat menurunkan tingkat kepercayaan pelaku usaha kepada pemerintah.

“Revisi UU ini bertujuan terciptanya iklim usaha yang sehat, tersedianya kepastian hukum, timbulnya rasa keadilan bukan hanya bagi pelaku usaha mikro hingga konglomerasi, namun juga konsumen. Dengan demikian, cita-cita pembangunan bidang ekonomi sesuai Pancasila dan UUD 1945 terwujud,” tandasnya.

Dalam konteks inilah, kata Misbakhun, langkah DPR melakukan amandemen UU 5/1999 diperlukan, sehingga substansi dan aturan di dalamnya akan menciptakan lingkungan yang kondusif dan fair bagi pertumbuhan dunia usaha dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara menyeluruh.

Tim Ahli Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono menambahkan, revisi UU tersebut perlu jika dilihat relevansinya dengan pertumbuhan ekonomi sosial dan politik negara saat ini.

“Bukan hanya sebatas mengenai kewenangan KPPU yang menginginkan lebih. Tapi juga pengusaha diajak bicara untuk membahas revisi UU tersebut karena merupakan salah satu stakeholder. Membuktikan kartel tak mudah. Maka revisi harus mampu menciptakan iklim fairplay (adil) dalam berbisnis, sehingga terwujud demokrasi ekonomi,” urainya.

Untuk itu, kata Iwantono, revisi harus disikapi dengan bijak, bukannya memperburuk iklim usaha. Apalagi, ekonomi dunia tengah kurang kondusif, sehingga para investor sangat hati-hati untuk menempatkan investasinya.

Sebagai penjelasan, beberapa revisi antara lain perubahan denda pelanggaran UU persaingan usaha dari Rp 25 miliar menjadi maksimum 30% dari omzet dinilai memberatkan dunia usaha. Sebab, omzet yang tinggi tidak menandakan keuntungan yang tinggi, sehingga perubahan denda itu bisa mematikan usaha.

“Ini buat takut dan parno pengusaha, apalagi ada ancaman Rp 2 triliun dan hukuman 2 tahun. Ini berdampak kontraproduktif terhadap ekonomi,” tegasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid