Oleh: Yusril Ihza Mahendra
Jakarta, aktual.com – DPR dan Pemerintah dalam waktu dekat ini segera akan membahas RUU Perubahan Atas UU No 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Saya mendapat banyak pertanyaan dari berbagai pihak sehubungan dengan RUU hasil inisiatif DPR ini, bukan saja dalam posisi saya sebagai akademisi hukum tatanegara, tetapi juga karena dalam sejarahnya pada tahun 2006, dalam posisi sebagai Menteri Sekretaris Negara, saya ditugasi Presiden SBY untuk mewakili Presiden membahas RUU tentang Wantimpres itu dengan DPR hingga selesai.
Dalam teks UU No. 19 Tahun 2006 itu tercantum tandatangan pengesahan dari Presiden SBY dan tandatangan saya selaku Menteri Hukum dan HAM Ad Interim yang mengundangkan UU itu dalam Lembaran Negara, pertanda UU tersebut mulai berlaku dan mengikat semua orang.
Perubahan dalam RUU yang diajukan DPR ini pada hemat saya memang tidak substansial jika dikaitkan hanya dengan nomenklatur dan berapa jumlah serta syarat untuk menjadi anggotanya.
Apa yang substansial adalah perubahan kedudukan dewan pertimbangan itu dari semula berada di bawah Presiden sebagaimana disebutkan dalam UU Wantimpres menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya.
Dalam UUD 45 sebelum amandemen DPA memang disebutkan sebagai nomenklatur dan diletakkan dalam Bab tersendiri, yakni Bab IV dengan judul “Dewan Pertimbangan Agung” yang terdiri atas 2 ayat yang menyebutkan susunan dewan tersebut ditetapkan dengan undang-undang.
Tugas dewan itu adalah berkewajiban untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Sedangkan penjelasan UUD 45 ketika itu menyebut DPA sebagai “Council of State” yang wajib memberikan pertimbangan kepada pemerintah. Karena itu, dalam pelajaran hukum tatanegara sebelum amandemen UUD 45, DPA digolongkan sebagai “lembaga tinggi negara”.
Sementara dalam UUD 45 hasil amandemen Bab IV dengan judul “Dewan Pertimbangan Agung” dinyatakan “dihapuskan”. Tetapi Pasal 16 yang mengatur tentang DPA dan berada di bawah Bab itu tetap ada namun diubah sehingga berbunyi “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang”. Apa nama dewan pertimbangan yang dibentuk oleh Presiden itu, tidak ada nomenklaturnya di dalam UUD 45 hasil amandemen.
UU No Tahun 2006 menamakannya “Dewan Pertimbangan Presiden” dan menempatkan lembaga itu di bawah Presiden. Itulah tafsir yang berkembang saat itu. Pemikirannya adalah karena DPA sebagai “lembaga negara” dihapuskan oleh amandenen, maka kedudukan Wantimpres ditempatkan berada di bawah Presiden sebagai lembaga pemerintah.
Sementara dengan RUU inisiatif DPR sekarang ini, dewan penasehat yang dibentuk Presiden berdasarkan Pasal 16 UUD 45 hasil amandemen akan diberi nama “Dewan Pertimbangan Agung” dan menempatkannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain yang disebutkan dalam UUD 45 hasil amandemen.
Pada hemat saya, seperti telah saya katakan di atas tadi, soal kedudukan dewan itu saja yang secara substansial membedakan antara Wantimpres yang ada sekarang dengan DPA sebagaimana termaktub dalam RUU inisiatif DPR ini.
Persoalan penyebutan dan keberadaan “lembaga tertinggi” dan “lembaga tinggi negara” dalam UUD 45 baik sebelum maupun sesudah amandemen pada hemat saya adalah persoalan teori hukum tatanegara kita.
Dengan diubahnya kedudukan MPR sesudah amandemen, kebanyakan akademisi hukum tatanegara menafsirkan bahwa tidak mempunyai lembaga “tertinggi negara” lagi. Bahkan istilah “lembaga tinggi negara” pun dihindari penggunaannya, seiring dengan perubahan rumusan tentang pelaksana kedaulatan rakyat dalam UUD 45 hasil amademen.
Karena MPR tidak lagi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan kedaulatan rakyat kini dilaksanakan “menurut undang-undang dasar”, maka kedaulatan rakyat itu dapat ditafsirkan dilaksanakan oleh semua lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 45 hasil amandemen.
Dewan yang dibentuk oleh Presiden dan bertugas untuk memberikan nasehat dan pertimbangan itu dapat pula disebut sebagai lembaga negara. Saya ingin merujuk kepada norma Pasal 30 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (yang sudah beberapa kali diubah), yang dengan tegas menyatakan bahwa “lembaga negara” yang dapat mengajukan sengketa kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi adalah “lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Lembaga yang dibentuk oleh Presiden atas perintah UUD 45 dengan tugas untuk memberikan pertimbangan dan nasehat kepada Presiden, apakah nomenklaturnya akan dinamakan Dewan Pertimbangan Presiden atau Dewan Pertimbangan Agung, kewenangannya dengan tegas diberikan oleh Pasal 16 UUD 45, maka dewan itu dapat digolongkan sebagai lembaga negara yang sejajar kedudukannya dapat disejajarkan dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Sebab, tidak ada lembaga lain dalam UUD 45 yang diberikan kewenangan untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden.
Dengan demikian, hemat saya tidak ada persoalan mendasar yang kita hadapi dari perspektif hukum tatanegara, mengenai perubahan kedudukan Wantimpres yang semula adalah lembaga yang kedudukannya berada di bawah Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung yang kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain.
Penafsiran sekarang ini lebih mendekati maksud UUD 45 dibandingkan dengan penafsiran tahhn 2006 ketika UU Wantimpres dirumuskan oleh para pembentuknya, termasuk saya juga. Tafsir tentang kedudukan lembaga-lembaga negara, atau tafsir apapun terkait dengan UUD selalu bersifat dinamis. Segalanya pada akhirnya dapat diterima setelah tafsir itu dituangkan ke dalam norma undang-undang.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain