Jakarta, Aktual.co —Tentu, kita semua menyadari dan sangat memahami keadaan krisis multidimensi yang tak gampang diatasi oleh siapapun Presiden yang terpilih melalui Pileg dan Pipres yang sarat dengan koalisi untuk transaksi jabatan dan jual beli suara.
Tak hanya krisis ekonomi dan kemerosotan kesejahteraan rakyat, tak hanya krisis konsolidasi organisasi kekuasaan, tapi juga krisis paling mendasar yang telah menghujam jantung kehidupan berbangsa, yaitu krisis nilai yang menjadi perekat dan pondasi dalam menggerakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Presiden adalah pihak yang harus bertanggungjawab untuk mengatasi situasi yang abnormal tersebut.
Dalam sistem negara yang dianut oleh konstitusi kita (UUD 1945), Presiden RI mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi selaku Kepala Negara sekaligus fungsi sebagai Kepala Pemerintahan.
Sebagai Kepala Negara, Presiden berfungsi dan bertanggungjawab melampaui yang diatur dan ditentukan di dalam konstitusi. Yaitu memimpin lahir dan batin, jasmani dan rohani, jiwa dan raga, fisik dan phsikis, memimpin secara ideologi dan politik (arah dan haluan) seluruh manusia dan seluruh alam semesta, tanah air dan seluruh kandungannya, yang ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk mencapai terwujudnya tujuan bernegara serta melindungi kepentingan nasional yang tertuang di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta GBHN hasil keputusan MPR RI.
Sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden bertanggungjawab dan berfungsi memimpin secara administrasi dan operasional seluruh institusi dan aparat eksekutif untuk menggerakan pembangunan (infrstruktur dan industri) serta menyelenggarakan pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, perumahan, dll.) yang makin terjamin, memadai dan terjangkau yang tertuang di dalam Repelita atau RPJM.
Permasalahannya
Permasalahannya adalah; Pertama, Presiden Joko Widodo belum menunjukan perubahan kapasitas maupun pemahaman tentang fungsi dan tanggungjawabnya selaku Kepala Negara. Presiden Joko Widodo hingga semester satu pemerintahannya masih memahami dan menempatkan dirinya tidak sebagai Kepala Negara, tetapi semata selaku Kepala Pemerintahan. Hingga saat ini, Presiden Joko Widodo masih terlihat memahami dan menempatkan dirinya ibarat Wali Kota dan Gubernur di tingkat nasional, yang hanya bertanggungjawab dan berfungsi sebagai Kepala Pemerintahan yang semata mengurus masalah pelayanan publik (kartu sehat, kartu pintar, dll.), serta pembangunan infrastruktur.
Presiden Joko Widodo kelihatannya masih belum sadar dan tidak paham jika dirinya adalah seorang yang juga berfungsi sebagai Kepala Negara yang bertanggungjawab memimpin arah dan haluan bernegara. Tugas-tugas selaku Kepala Negara yang dijalankan oleh Presiden Joko Widodo baru semata fungsi administratif, seperti memberhentikan dan mengangkat Kepala Polri dan menolak memberikan grasi kepada terpidana Narkoba. Sebagaimana yang dilakukan oleh SBY, Presiden Joko Widodo juga melanjutkan melupakan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai Kepala Negara untuk melakukan revolusi nilai atau revolusi mindset untuk kembali kepada nilai-nilai Pancasila melalui penataan ulang sistem negara berdasarkan konstitusi UUD 1945.
Kedua, Presiden Joko Widodo juga melanjutkan kesalahan yang pernah dilakukan di era Presiden SBY, yaitu tidak berkehendak untuk menyelesaikan masalah negara berdasarkan akar masalahnya, yaitu masalah kekacauan sistem negara era reformasi, yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia selama 17 tahun terakhir. Kekacauan sistem negara akibat amandemen terhadap UUD 1945 telah melemahkan atau bahkan mempreteli fungsi, tanggungjawab dan diskresi Presiden sebagai Kepala Negara, menciptakan disintegrasi bangsa, terjadinya tumpang tindih aturan dan fungsi institusi negara, melahirkan benturan kelembagaan antar berbagai institusi negara, dan yang paling parah adalah menggelar karpet merah bagi penjajah asing, dari barat hingga timur, untuk menjarah kekayaan bangsa kita.
“Selama 10 tahun SBY menjadi Presiden, berbagai kritik, kecaman, bahkan hujatan, dengan lisan maupun tulisan, diarahkan kepada SBY, karena sebagai Kepala Negara, SBY tidak berani bertindak tegas untuk menata ulang negara kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 untuk mengakhiri keadaan kekacauan, krisis atau darurat multi dimensi yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia. Saat itu, orientasi SBY hanya untuk mempertahankan kekuasaan melalui sogokan jabatan dan projek kepada mitra koalisinya, dengan tidak peduli pada hancurnya sistem dan tatanan bernegara”. (Bersambung) (Baca: Perubahan Yang Dikehendaki, Lanjutannya Yang Dirasakan (Bagian II)
Oleh: Haris Rusly (Petisi 28)
Artikel ini ditulis oleh: