Jakarta, aktual.com – Krisis yang melanda bangsa ini telah menyerang segala jaringan pembuluh darah dan menembus kedalaman jantung kehidupan. Usaha menyembuhkannya tak cukup dengan rutinitas penyelenggaraan demokrasi prosedural. Harus dilakukan pembedahan secara mendasar untuk melenyapkan biang penyakit hingga ke akar-akarnya yang terdalam.
Pada garis besarnya, pemerintahan negara belum mampu menunaikan kewajibannya untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Pada basis material, perwujudan masyarakat adil dan makmur tercegat oleh pendalaman dan perluasan penetrasi kapitalisme predatoris. Usaha bersama berlandaskan semangat tolong-menolong (kooperasi) tertikam oleh usaha perseorangan yang saling mematikan. Kemakmuran masyarakat disisihkan oleh kemakmuran orang seorang. Kesenjangan sosial melebar, menjauh dari cita-cita keadilan sosial.Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang mestinya dikuasai oleh negara, jatuh ke tangan penguasaan orang seorang dan modal asing, menjadikan rakyat banyak sebagai tindasan segelintir orang kuat.
Begitu pun bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok kemakmuran rakyat, yang seharusnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, semakin dikuasai oleh orang seorang bagi sebesar-besar kemakmuran segolongan kecil dan orang asing. Perampasan dan perusakan sumberdaya alam oleh pemodal kuat terjadi secara sistematis, massif dan terstruktur, menyisakan malapetaka ekologis, ketidakadilan, dan keterancaman kesinambungan pembangunan.
Pada langit mental, semangat ketuhanan yang mestinya menjadi bantalan etis, etos dan welas asih terdangkalkan oleh formalisme dan egoisme keagamaan. Kemanusiaan yang mestinya mengarah pada kederajatan, kemandirian, persaudaraan manusia, terlumpuhkan oleh individualisme, materialisme dan hedonisme, keserakahan menimbun, gila status dan kekuasaan. Keragaman yang mestinya memberi wahana saling mengenal, saling menghormati, saling belajar, saling menyempurnakan, serta saling berbagi dan melayani untuk menguatkan persatuan, justru menjadi wahana saling menyangkal, saling mengucilkan dan saling meniadakan yang mengarah pada kelumpuhan dan kehancuran bersama.
Pada ranah politik—sebagai agen perantara dalam perubahan sistem sosial—konsentrasi kekuatan nasional bagi transformasi ranah material dan mental menuju perwujudan masyarakat Pancasilais yang berkekeluargaan dan berkeadilan, tercabik oleh pengadopsian model demokrasi yang tidak selaras dengan dasar falsafah dan kepribadian bangsa.
Perwujudan demokrasi permusyawaratan sebagai wahana penguatan negara persatuan (yang mengatasi paham perseorangan dan golongan) dan negara kesejahteraan (yang berorientasi keadilan sosial), tercegat oleh hambatan-hambatan kultural, institusional, dan struktural.
Pada tingkat kultural, politik sebagai teknik mengalami kemajuan; tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Perangkat keras-prosedur demokrasinya—terlihat relatif lebih demokratis; namun perangkat lunak—budaya demokrasinya—masih tetap nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak diikuti oleh meritoktasi (pemerintahan orang-orang berprestasi), malahan sebaliknya cenderung diikuti mediokrasi (pemerintahan orang sedang-sedang saja); perluasan partisipasi politik beriringan dengan perluasan partisipasi korupsi.
Pada tingkat institusional, desain institusi demokrasi terlalu menekankan pada kekuatan alokatif (sumber dana), ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas manusia). Demokrasi padat modal melambungkan biaya kekuasaan, mengakibatkan perekonomian biaya tinggi (high cost economy), dan merebakkan korupsi.
Demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan nasionalisme kewargaan (civic nationalism) justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan dan ketidakberdayaan rakyat.
Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi “liberal” tanpa menyesuaikannya secara seksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyakat Indonesia, justru dapat melemahkan demokrasi. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru seringkali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Situasi ini kian memburuk dengan menguatnya penetrasi neoliberalisme yang memperkuat individualisme dan memaksakan relasi pasar dalam segala bidang kehidupan. Kekuatan demokrasi perwakilan menjadi lumpuh ketika kepentingan minoritas pemodal lebih aktif dan ampuh mengendalikan politik daripada institusi-institusi publik.
Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana efektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res publica (urusan umum) tunduk di bawah kendali res privata (urusan privat).
Dengan demikian, yang kita dapati di seberang jembatan emas kemerdekaan adalah jalan bercabang dua. Jalan yang satu adalah jalan mulus bagi segelintir orang yang hidup berkelimpahan; sama dapat, sama bahagia; sedang jalan yang satu lagi adalah jalan terjal bagi kebanyakan orang yang hidup berkekurangan; sama ratap, sama sengsara.
Semangat persaudaraan kebangsaan sejati hancur. Warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya pudar karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan; ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Semuanya berujuang pada kegelapan dan kebiadaban: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.
Keadaan demikian akan mengantarkan negara ini ke tubir jurang perpecahan dan kebinasaan. Pilihannya apakah kita biarkan rantai krisis ini terus menjalar atau berusaha menghadangnya.
Pengalaman marginalisasi, diskriminasi dan eksploitasi memang pantas disesali dan dimusuhi. Namun, manusia tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan yang positif, untuk menghadirkan kebaikan. Kebiasaan kita untuk mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya, membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya (regressive politics).
Melampaui masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang lebih progresif. Patriotisme yang tidak cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, melainkan juga pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya menjebol, melainkan juga membangun, memperbaiki keadaan negeri.
Untuk keluar dari krisis menuju politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Pada tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu pemimpin mendominasi dan memarginalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, justru membuatnya apatis.
Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerjasama menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong-royong merealisasikan kebajikan bersama.
Tetapi optimisme harus berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan komitmen hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan, dengan menjadilan Pancasila sebagai “ideologi” (working ideology), berikut konsekuensi turunannya ke dalam visi dan misi, kebijakan dan pilihan pembangunan negara-bangsa. Singkat kata, kita harus melakukan inisiatif tata ulang Indonesia dengan secara konsisten menjadikan Pancasila dan (Pembukaan) Konstitusi sebagai paradigma pembangunan.
Oleh: Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin