Jakarta, Aktual.com – Jerman menjadi negara Eropa berikutnya yang mengalami gelombang protes massal dari para petani.
Selama seminggu hingga Jumat (12/10), sektor pertanian menyuarakan penolakan terhadap rencana pemangkasan subsidi bahan bakar yang akan diterapkan di sektor tersebut.
Ribuan traktor dan truk yang membentuk konvoi telah menyebabkan gangguan lalu lintas dan menutup sejumlah kota besar. Produksi di pabrik mobil Volkswagen di Emden, Jerman utara, terhenti sepenuhnya.
Protes petani melanda Eropa secara menyeluruh, dan aksi demonstrasi serupa juga terjadi di negara-negara anggota Uni Eropa lainnya.
Demonstrasi petani di Belanda mencakup tindakan kekerasan dan serangan terhadap privasi politikus, menyebabkan gangguan signifikan dalam kehidupan sehari-hari.
Protes petani di Belanda telah memicu pembentukan sebuah partai politik baru bernama Farmer Citizen Movement (BBB) dengan orientasi populist kanan pada tahun 2019.
Petani di Belgia, Spanyol, dan Prancis juga menyelenggarakan protes besar-besaran di jalan-jalan untuk mengekspresikan ketidakpuasan terhadap rencana reformasi regulasi lingkungan dan kenaikan biaya produksi.
Polandia dan negara-negara Eropa Timur lainnya menghadapi situasi yang mirip, namun penyebabnya berbeda, dengan para petani memprotes keputusan Uni Eropa untuk mencabut larangan impor gandum murah dari Ukraina.
Menurut seorang ahli sosiologi pertanian dan profesor emeritus dari Universitas Wageningen di Belanda, Jan Douwe van der Ploeg terdapat kesamaan alasan di balik protes ini, yaitu untuk mempertahankan status quo.
“Kecemasan petani mencakup hak untuk terus menggunakan subsidi yang mereka terima sepanjang sejarah atau untuk tetap melanjutkan penggunaan bahan bakar fosil dan pestisida,” terang van der Ploeg.
Perlawanan para petani dapat ditarik garis umum sebagai ekspresi ketidakpuasan terhadap situasi politik, meskipun sebabnya juga bervariasi di setiap negara.
Rencana penghapusan subsidi diesel untuk pertanian di Jerman, regulasi penghematan air di Spanyol, dan lonjakan biaya irigasi serta bahan bakar fosil, bersama dengan politik perdagangan Uni Eropa, mendasari gelombang protes petani di masing-masing negara tersebut.
Tak dapat disangkal, terjadi kenaikan harga pupuk dan bahan bakar setelah invasi Rusia ke Ukraina. Para petani di seluruh Eropa menyampaikan bahwa mereka merasa tertekan saat menghadapi kenaikan harga bahan makanan di supermarket.
Anne-Kathrin Meister dari Federasi Generasi Muda Pedesaan Jerman (BDL) menyatakan bahwa pendapatan dari sektor pertanian tidak lagi mampu mencukupi untuk menutupi peningkatan biaya produksi.
“Jika membandingkan kenaikan harga mesin, pestisida dan pupuk saja, pendapatan tidak pernah meningkat dalam laju kenaikan harga yang sama,” ujar Meister yang berasal dari keluarga petani di kawasan Bayern di selatan Jerman, dalam wawancaranya.
“Sektor pertanian tidak menentang reformasi lingkungan, tapi juga mereka memerlukan dukungan,” imbuh Meister.
“Petani menjadi yang pertama terdampak, jika flora dan fauna mengalami kerusakan. Tapi ongkos lingkungan juga harus ikut dihitung pada harga produk, dan konsumen harus siap membayarnya,” tambahnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Yunita Wisikaningsih