Gorontalo, Aktual.com – Kisah berikut adalah tentang seorang petani. Ia bergelut dengan tanah, lumpur dan peluh, sekaligus merasakan pahitnya kehidupan petani yang terjajah. Dari sana sebuah perjuangan menuju kemerdekaan berkobar.
Nani Wartabone mendapat pengakuan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2003 dari Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia bersama tokoh pejuang lainnya, berhasil membawa wilayah Gorontalo lepas dari cengkraman Belanda pada tahun 1942, sebelum Indonesia merdeka.
Nani lahir 30 Januari 1907.
Masa kecil hingga remajanya jauh dari himpitan hidup karena bapaknya, Zakaria Wartabone merupakan seorang penguasa wilayah yang disebut Jogugu kala itu.
“Beliau mendapatkan kesempatan melanjutkan sekolah di Surabaya juga, karena fasilitas dari pemerintahan Belanda dan kembali ke Gorontalo tahun 1928. Ia menikah dengan Aisyah Tangahu dan memilih bertani di sawah dan ladang,” ungkap Yos Wartabone (75), putera ke-9 dari 11 anak Nani Wartabone.
Dari tangan Nani, lahir sebuah perkumpulan petani (hulanga) yang menjadi ancaman serius bagi Belanda. Nani tak hanya mendorong petani menyemai benih, tetapi juga menanamkan rasa kebangsaan di dada setiap anggotanya. Ia juga tercatat sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) di Gorontalo.
Kekalahan tentara sekutu dari Jepang pada Perang Asia Pasifik, membuat Belanda berencana melumpuhkan Gorontalo dengan membumihanguskan gudang kopra dan minyak di wilayah Pabean dan Talumolo.
Belum sempat niat itu terlaksana, Nani dan rakyat Gorontalo bergerak menangkap para pejabat Belanda dengan menyasar perkampungan seperti Suwawa, Kabila, Tamalate hingga mengepung kota pada 23 Januari 1942.
Dalam catatan sejarah, tidak terjadi kontak senjata antara Belanda dan rakyat saat itu. Namun Komandan Detasemen Veld Politie WC Romer serta pejabat lainnya langsung menyerah pada perlawanan Nani.
Nani Wartabone kemudian memimpin upacara pengibaran bendera pada hari yang sama, diiringi lagu Indonesia Raya di tanah lapang kota (sekarang Lapangan Taruna Remaja).
Ia juga didaulat menjadi Ketua Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) dalam sebuah rapat dan memobilisasi rakyat untuk berikrar mempertahankan kemerdekaan.
Jepang Datang Kepergian Belanda tak lantas memberikan kemerdekaan mutlak bagi rakyat, karena sebulan kemudian Jepang datang dengan strategi yang tak kalah lihai.
“Semula bapak saya menerima Jepang dengan tangan terbuka. Karena sebelumnya Jepang mempropagandakan bahwa bangsa mereka adalah saudara tua dari bangsa-bangsa di Asia, untuk meraih dukungan. Tapi akhirnya keserakahan Jepang juga membuat Nani marah,” tutur Yos.
Emosi Nani tersulut saat tentara Jepang merampas hasil panen sawah milik seorang petani dan tiga anaknya dari wilayah Kwandang. Satu keluarga itu dibunuh karena menolak keinginan Jepang.
Dalam amarahnya Nani memilih kembali ke Suwawa dan tak ingin membantu Jepang lagi. Waktunya dihabiskan dengan membuka areal sawah dan ladang baru di sekitar rumah, hingga tentara Jepang menangkap dan membawanya ke Manado pada 30 Desember 1943.
Ia dituduh diam-diam menyiapkan kekuatan bersama petani lainnya untuk kembali menyerang Jepang.
Nani dan puluhan tahanan lainnya mengalami penyiksaan Jepang. Tubuh mereka ditanam di bibir pantai hingga batas leher selama seminggu.
“Bapak saya cerita, karena tidak tahan dengan segala tindak penyiksaan dia meludahi wajah tentara Jepang. Ini dilakukan demi memancing amarah penjajah agar segera membunuhnya saja,” lanjut Yos.
Pembebasan terhadap Wartabone terjadi pada 6 Juni 1945, ketika Jepang mulai kewalahan menghadapi Sekutu. Belanda yang membonceng sekutu kembali ke Gorontalo dan menangkap Nani Wartabone untuk diseret ke pengadilan militer di Manado.
“Belanda pura-pura mengundang kami sekeluarga makan di sebuah kapal perang sekutu di Pelabuhan Gorontalo, kemudian membawanya pergi,” tambahnya.
Pengadilan memutuskan 15 tahun penjara terhadap Nani gara-gara makar yang dilakukannya pada 23 Januari 1942. Namun hukuman tersebut hanya dijalaninya selama empat tahun di Morotai dan Cipinang, hingga dibebaskan pada 23 Januari 1949.
Petani pejuang ini menghembuskan nafas terakhirnya pada Jumat 3 Januari 1986, setelah mengalami kelumpuhan selama beberapa tahun. Sebuah patung yang berdiri kokoh di Lapangan Taruna Remaja dibangun untuk mengenangnya.
“Beliau pergi meninggalkan jejak dan kenangan perjuangan yang sangat berarti. Tak ada harta berlimpah, bahkan semasa hidupnya saja ia tak sanggup membeli mobil sendiri. Peninggalan bapak hanya rumah, ladang, serta sepucuk senapan yang saya simpan sampai saat ini,” kenang Yos.
Sejarawan Gorontalo, Joni Apriyanto mengungkapkan bahwa Nani adalah lulusan sekolah Belanda yakni Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO).
“Banyak pemikiran-pemikiran majunya dipengaruhi oleh kaum pergerakan di Jawa saat itu seperti Muhammad Jamin, Soetomo, HOS Cokroaminoto dan Bung Karno,” urainya.
Kawan-kawan seperjuangan Nani Wartabone yang tergabung dalam Komite Dua Belas menurutnya juga memiliki andil besar dalam perjuangan tahun 1942.
Para pejuang tersebut diantaranya RM. Koesno Danoepojo, M.H Boeloeati, AR. Ointoe, Usman Monoarfa, Usman Hadju, A.G Usu, M. Soegondo, RM. Danuwatijo, Sagaf Alhasni dan Hasan Badjeber.
Artikel ini ditulis oleh: