Ahmad Fadhli | Pendukung Timnas Belanda dan Peminat Behavioral Economics
Di era Piala Dunia saat ini, agak aneh kalau pendukung fanatik tidak mengorbankan waktu tidurnya untuk melihat tim favoritnya berlaga. Ya, saya sejak kecil suka dengan tim nasional Belanda. Bukan karena dulu Indonesia namanya aslinya Hindia-Belanda. Sekali lagi, bukan. Tetapi melainkan karena banyak keturunan Sulawesi yang beranak-pinak disana. Bahkan terakhir sebelum wafat, kakek saya pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Belanda.
Marco van Basten, Ruth Gullit, Ruud van Nistelrooy sampai Edwin van Der Sar itulah sederetan legenda Belanda yang menjadi idola generasi Y seperti saya. Bagi orang yang pernah belajar statistik, memprediksi (Forecasting) Tim Nasional Belanda untuk juara di World Cup Qatar 2022 peluangnya tetap ada, meskipun kecil. Data historical menunjukkan bahwa dalam 10 penampilannya berkompetisi di World Cup, Belanda belum pernah juara meski menjadi 3 kali runner-up World Cup.
Memang dalam beberapa pertandingan sebelumnya, Belanda tidak pernah kalah. Bahkan pemain-pemain muda Belanda cukup produktif dalam menciptakan gol. Tak hanya striker, tapi semua pemain Belanda bisa membuat gol indah. Saya pun teringat strategi Total Football mereka di tahun 70-an. Dalam bahasa Belanda disebut sebagai totaalvoetbal. Sebuah arsitektur strategi yang memungkinkan semua pemain bertukar posisi (permutasi posisi) secara konstan sambil menekan pemain lawan yang menguasai bola.
Sepintas lalu, saya teringat juga sebuah istilah waktu kuliah resources economics, Dutch Disease (Penyakit Belanda). Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh media bergengsi di Eropa, The Economist (1977). Fenomena ini dialami Belanda tahun 60-an. Belanda menemukan cadangan gas Groningen yang terbesar di Eropa (10 besar dunia). Kenyataannya berkah gas sepintas bak rezeki nomplok. Ekspor gas membuat kas Belanda lebih gemuk. Namun, ekspor non-migas (manufaktur dan pertanian) terabaikan.
Penjelasan sederhananya, potensi sumber daya alam suatu negara yang melimpah namun tidak memberikan dampak kesejahteraan bagi rakyatnya. Bahkan perilaku menyimpang dalam bernegara seperti korupsi, kolusi dan nepotisme juga merupakan multiplier effect dari dutch disease tersebut.
Timer running di Apple Watch saya, tak terasa sudah menunjukkan angka 9,08 Km. Nafas mulai ngos-ngosan dan kaki mulai berasa asam uratnya. Penyakit aktivis (bukan penyakit Belanda) di usia mencapai hampir 40 Tahun, yaitu AU atau AL (Asam Urat atau Asam Lambung). Mungkin karena semalam begadang menonton World Cup antara Belanda vs Amerika. Semoga tahun ini, Belanda bisa membawa pulang trophy World Cup 2022 dengan tidak meremehkan lawan. Dan, kita semua pun terhindar dari semua penyakit, khususnya penyakit Belanda (Dutch Disease).
Artikel ini ditulis oleh:
Megel Jekson