Jakarta, Aktual.com — Dirut Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo membantah, pihaknya terlibat dalam dugaan praktik perdagangan organ ginjal.
“Kalau masalah jual beli, itu di luar skup RS. Kami hanya melakukan proses transplantasi sesuai prosedur,” kata Dirut RSCM Soejono di Jakarta, Jumat (5/1).
Dia menjelaskan bahwa selama ini RSCM telah memiliki tim advokasi transplantasi ginjal, yang bertugas menyeleksi calon pendonor ginjal untuk mencegah kemungkinan terjadinya praktik jual beli ginjal.
Seleksi tersebut berupa wawancara mendalam untuk mengetahui bahwa tindakan pendonor untuk mendonorkan ginjal ini dilakukan tanpa adanya tekanan.
“Calon donor harus diperiksa dulu, dinilai apakah dia sudah dewasa, punya gangguan mental atau tidak, berada dibawah tekanan apa tidak, cakap dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri atau tidak, rencana usai operasi kedepannya bagaimana,” katanya.
Tim tersebut terdiri atas beberapa orang dokter di antaranya psikiater forensik, ahli ginjal dan ahli medikolegal. Mereka bertugas untuk mengecek kesehatan fisik dan mental pasien calon pendonor.
Soejono menyebut tidak semua pengajuan operasi transplantasi ginjal ke RSCM diterima. Pihaknya mencatat ada sebanyak 30 persen pengajuan operasi transplantasi ginjal di RSCM, ditolak karena tidak lolos tahap verifikasi tim advokasi.
“Tiga puluh persen kami tolak karena ada yang ketahuan berbohong, ada yang ternyata pengguna (narkoba). Tujuan kami melindungi, mencegah supaya calon pendonor betul-betul murni dari hatinya untuk menolong orang.”
Selain verifikasi dari tim advokasi, RSCM juga menilai berkas riwayat kesehatan dari calon pendonor untuk memastikan bahwa yang bersangkutan layak untuk menjalani operasi transplantasi ginjal.
Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap sindikat penjualan organ ginjal dan menangkap tiga tersangka kasus tersebut. “Tersangkanya HS alias H, AG alias A dan DD alias D,” kata Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Umar Surya Fana.
HS ditangkap polisi di Jakarta. Sementara AG dan DD diringkus di Bandung, Jawa Barat. Dalam kasus ini, HS berperan sebagai penghubung ke rumah sakit. “AG dan DD berperan merekrut pendonor (korban),” katanya.
Umar menjelaskan, HS menginstruksikan AG dan DD untuk mencari korban pendonor ginjal. Pendonor ginjal diberi imbalan Rp70 juta hingga Rp90 juta bila bersedia mendonorkan ginjalnya.
Dia mengatakan, dalam kasus ini, penerima ginjal dikenakan biaya Rp225 juta – Rp300 juta untuk pembelian satu ginjal dengan uang muka sebesar Rp10 juta – Rp15 juta.
“Sisa pembayaran dilakukan setelah operasi transplantasi dilakukan,” katanya.
Biaya tersebut, menurutnya, tidak termasuk biaya operasi transplantasi yang harus ditanggung oleh penerima ginjal. Dalam kasus ini, HS menerima keuntungan Rp100 juta – Rp110 juta.
Sementara AG mendapat bayaran Rp5 juta – Rp7,5 juta setiap mendapatkan pendonor. Sedangkan DD mendapatkan upah Rp10 juta – Rp15 juta.
Atas perbuatannya, ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 64 Ayat 3 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang isinya “Organ dan atau Jaringan Tubuh Dilarang Diperjualbelikan dengan Dalih Apapun”.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu