Jakarta, Aktual.com – Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan ajang pesta demokrasi lokal yang dinanti masyarakat untuk memilih pemimpinnya di daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota.

Dari waktu yang semula setiap daerah melaksanakan pilkada sendiri-sendiri, kini dibuat serentak. Terhitung pada tahun ini ada 270 daerah yang menggelar pilkada pada tanggal 9 Desember 2020, yakni 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Namun, prosesnya ternyata tidaklah singkat. Pilkada harus melalui proses eksperimentasi panjang berliku hingga disepakati pemilihan secara langsung dan serentak seperti sekarang ini.

Sebagaimana disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD, pelaksanaan pilkada melalui proses eksperimentasi yang selalu berubah dengan segala dinamikanya.

Pernah ada satu masa, saat tata hukum Indonesia belum tertib sehingga pelaksanaan pilkada berbeda-beda bergantung pada tempat dan waktu sehingga muncul, antara lain UU Pemilihan Kediri, UU Pemilihan Klaten, dan UU Pemilihan Yogyakarta.

Semasa pemerintahan Bung Karno, pernah ada juga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 bahwa kepala daerah sebagai pengemban otonomi daerah dan dipilih langsung oleh rakyat, sama seperti sekarang.

“Namun, sebelum UU itu diimplementasikan, terjadi pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

Berganti rezim Orde Baru, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) meski dalam praktiknya yang menentukan sosok kepala daerah adalah ABG (ABRI, birokrasi, dan Golkar).

Memasuki Orde Reformasi, DPRD memiliki kekuasaan yang luas, yakni berhak memilih kepala daerah secara final serta berhak mengevaluasi dan menjatuhkan kepala daerah jika dianggap tidak bertanggung jawab.

Dalam praktiknya, Mahfud menerangkan bahwa sistem semacam itu ternyata melahirkan praktik politik uang karena partai bisa melakukan jual-beli kursi terhadap calon kepala daerah.

Akhirnya, sistem pilkada diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat seperti sekarang ini meski dalam praktiknya tetap ada plus dan minusnya.

Oleh karena itu, Mahfud mengajak seluruh pihak untuk terus menyempurnakan sistem pelaksanaan pilkada agar makin bagus dan berkualitas dalam jangka panjang.

Ancaman COVID-19

Memasuki awal tahun 2020, wabah COVID-19 melanda dunia, tak terkecuali Indonesia yang hingga kini belum ditemukan vaksin atau penangkalnya yang sudah benar-benar teruji hingga statusnya ditetapkan sebagai pandemi.

Praktis, pandemi COVID-19 memengaruhi rencana gelaran pilkada. Itu pula yang membuat pelaksanaannya yang semula dijadwalkan pada tanggal 23 September 2020 harus diundur menjadi 9 Desember 2020.

Banyak pihak yang menyuarakan agar pilkada kembali diundur karena kekhawatiran terhadap kondisi kesehatan masyarakat seiring dengan pandemi. Namun, ada pula yang berpendapat tetap sesuai dengan jadwal, 9 Desember 2020, termasuk pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu.

Setidaknya ada dua pertimbangan pemerintah memutuskan pilkada tetap pada tanggal 9 Desember 2020.

Pertama, tidak ada yang bisa memastikan kapan berakhirnya COVID-19 jika pilkada kembali ditunda. Kedua, jika pilkada ditunda, 270 kepala daerah akan dijabat oleh pelaksana tugas (plt.) yang tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan kebijakan yang bersifat strategis.

Padahal, dalam situasi sekarang di tengah pandemi COVID-19, kebijakan-kebijakan strategis yang berimplikasi pada penggerakan birokrasi dan sumber daya lain seperti dana yang memerlukan pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang sifatnya strategis.

Oleh sebab itu, pemerintah bersama penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu, mengatur mekanisme pelaksanaan pilkada dengan penerapan protokol kesehatan mencegah penyebaran COVID-19.

Nyatanya, kekhawatiran banyak pihak atas bahaya pandemi tak juga surut, seperti diungkapkan peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay bahwa kesehatan dan keselamatan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pilkada, termasuk pemilih, harus terjamin.

Berkaca dari proses pilkada selama ini, UU Pilkada tidak didesain atau memuat prosedur-prosedur yang cocok dibuat untuk situasi pandemi.

“Ada pengaturan situasi keamanan yang darurat, situasi bencana alam. Itu pun tidak detail dan tidak ada sama sekali bencana nonalam yang pandemi ini,” jelas mantan anggota KPU RI itu.

Memang, melalui peraturan KPU (PKPU) kini diselipkan proses-proses yang membuat pelaksanaan pilkada lebih aman, tetapi dinilainya secara aturan cakupannya masih sangat sempit.

Tak kalah penting, pentingnya memastikan kualitas pilkada tetap terjaga, sebab jangan sampai kompromi-kompromi dilakukan karena situasi pandemi justru mengurangi kualitasnya, salah satunya dari aspek tingkat partisipasi.

Netralitas ASN

Belum habis soal pandemi, persoalan yang selama ini lekat dengan pilkada juga masih belum terselesaikan, yakni netralitas aparatur sipil negara (ASN).

Perlu diketahui, ASN diwajibkan netral dalam setiap pesta demokrasi, baik pemilihan presiden, pemilihan umum, maupun pilkada, tanpa mengurangi hak pilihnya sebagai warga negara.

Inilah yang membuat potensi pelanggaran netralitas ASN dalam ajang pilkada kerap kali terjadi meski sudah diatur regulasi yang memuat larangan berikut sanksi.

Bahkan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo sampai menyebut masih banyak kalangan ASN yang “gagal paham” atau salah paradigma dalam memahami netralitas ASN.

Kalangan ASN tersebut selalu berdalih bahwa posisi ASN dilematis dalam menjaga netralitas pada ajang pemilihan kepala daerah, pemilihan umum, maupun pemilihan presiden.

“Mereka selalu berdalih posisi ASN dilematis. Maju kena, mundur kena, netral pun kena,” ujar mantan Menteri Dalam Negeri tersebut.

Padahal, perundang-undangan sudah jelas mengatur posisi ASN dalam menjaga netralitasnya pada ajang pesta demokrasi tanpa mengurangi hak pilihnya.

​​​​​​​Potensi gangguan netralitas ASN sebenarnya justru terletak pada individu-individu, bukan secara kelembagaan.

Dilihat dari konstruksi UU, ASN ditempatkan sebagai unsur perekat dan pemersatu bangsa, dan sebagai pembawa baju atau identitas negara yang melekat pada dirinya.

Sesuai dengan namanya, ASN adalah aparatur sipil negara, bukan aparatur sipil pemerintah. Artinya, siapa pun presidennya, gubernurnya, bupati wali kotanya, atau kepala desanya, ASN harus tegak lurus dengan perannya sebagai abdi negara.

Memang, karakter ASN menjadi khas dalam pesta demokrasi karena tidak boleh menjadi partisan karena ada identitas negara.

“Meski tetap saja punya kesempatan artikulasi politik yang dikehendakinya di bilik suara, di luar bilik suara, tidak perlu diekspresikan,” kata Tjahjo. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin