Yogyakarta, Aktual.com – Hanya munculnya nama Haryadi Suyuti melawan Imam Priyono di Pilkada Kota Yogya 2017 menimbulkan kekecewaan masyarakat yang tak puas atas kepemimpinan mereka di periode sebelumnya.

Pasalnya, tiga masalah utama Kota Yogya yakni air, tanah dan tata ruang dianggap tak teratasi semasa duet keduanya. Akibatnya, tingkat partisipasi masyarakat di Pilkada kali ini diprediksi turun.

“Masyarakat punya preferensi politik dan itu menjadi hak mereka untuk memilih atau tidak,” kata Ketua KPU Kota Yogyakarta, Wawan Budianto, Jumat (25/11).

Namun pihaknya merasa wajib untuk terus meyakinkan masyarakat menggunakan hak pilihnya. Sebab, siapapun paslon yang bakal terpilih nanti mereka lah yang akan menentukan kebijakan terkait semua aspek kehidupan di Kota Yogya.

Menurut Wawan, dibutuhkan kesadaran dan kejelian untuk menggali sedalam-dalamnya informasi dari kedua paslon yang berkontestasi. “Jangan menilai dengan sekilas dan sebentar tapi pelajari secara mendalam, tetap gunakanlah hak pilih,” imbaunya.

KPU Kota Yogya sendiri hanya menarget 67,5% tingkat partisipasi masyarakat di gelaran Pilkada kali ini. Artinya, tersisa 30% lebih jumlah suara yang diprediksi tak ingin berpartisipasi.

“Kita harus realistis, bukan berarti dengan mematok angka yang kecil ini kita tidak bekerja secara maksimal, nyatanya kita sampai bekerja sama dengan dua perguruan tinggi di Yogya agar mahasiswanya bersedia jadi relawan sosialisasi KPU, itu salah satu upaya kita,” paparnya.

Dodok Putera Bangsa, aktivis Warga Berdaya yang dikenal konsisten mengkritisi kebijakan Pemkot dibawah Haryadi-Imam, menyatakan keduanya telah membodohi masyarakat lewat janji-janji kampanye di Pilkada tahun ini.

“Jelas-jelas dua orang ini selama lima tahun kemarin membawa kota Yogya dalam kehancuran,” sindirnya.

Faktanya, kata Dodok, yang terjadi adalah pembangunan hotel yang gila-gilaan. Warga kampung Miliran yang pertama kali meributkan masalah hotel tak pernah dijumpai Haryadi sama sekali untuk didengar keluhannya, bahkan hingga masuk masa kampanye Pilkada selanjutnya.

Termasuk Imam Priyono, Dodok menilai selama jadi wakil Walikota Imam memposisikan jabatannya hanya sebagai pekerjaan, bukan pengabdian bagi masyarakat.

Saat ada kebijakan Walikota yang melanggar aturan, harusnya Imam segera mundur, untuk kemudian mengajukan diri jadi Walikota periode berikut memperbaiki keadaan, “Bukan malah nggak melakukan apa-apa dengan dalih kewenangan yang terbatas,” kata Dodok.

Keputusannya untuk tidak memilih baginya pun bentuk pendidikan politik ke warga lain, ketika datang ke TPS tapi tidak ada kandidat yang dikenal, dirasa tidak pas, maka warga tidak jadi memilih menurutnya tidak masalah, ketimbang ikut andil menyengsarakan Kota Yogya lima tahun kedepan.

Namun, itu bukan berarti menghindari tanggung jawab pada masalah sebab menurut Dodok warga masih punya hak mengkritisi kebijakan paslon terpilih lima tahun setelah ini. “Karena gaji mereka itu dari warga yang bayar pajak, saya juga bayar pajak,”

“Salah satu alasan golput adalah sikap apatis pada politik atau ketidaktahuan masyarakat pada profil kandidat, tapi karena saya tahu betul gimana kandidat yang sekarang makanya nggak mau milih, karena memang nggak layak untuk dipilih,” jelas Dodok.

Baginya, suara rakyat itu mahal dan menentukan, maka tukarkanlah dengan kebijakan, jangan dengan janji kampanye maupun politik uang seandainya ada, yang cuma habis dipakai dalam sehari, padahal nasib lima tahun kedepan justru tidak jelas.

Sementara itu, Sosiolog UGM Arie Sujito mengamini jika kinerja buruk kedua calon Walikota selama menjabat bakal mempengaruhi tingkat partisipasi di Pilkada 2017.

“Bisa dimaklumi. Incumbent kan dua-duanya maju, ya tidak ada pilihan lain. Faktanya tidak ada unggulan dari keduanya, kandidat yang muncul tidak membawa pembaruan, paket lama,” kata dia.

Ironi bagi Arie disaat banyak hal yang dilakukan tapi tidak ada terobosan yang cukup memadai, hal ini menjadi sinyal terhadap potensi penurunan partisipasi, kecuali ada tawaran baru dari para kandidat, namun berhubung mereka incumbent sebenarnya mudah untuk dinilai.

“Memang harus ada kontrak politik dengan waktu tertentu untuk melakukan pembaruan, karena incumbent selama ini tidak menunjukkan prestasi,” pungkas Arie.

(Laporan: Nelson)

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Eka