Bagaimana dengan Rizal Ramli? Pada prinsipnya sama saja dengan GNPF-Ulama. Menurut mantan anggota tim panel ahli ekonomi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ini, soal dukungnnya kepada salah satu Paslon itu perkara gampang. Yang penting, lanjut dia, rakyat dapat apa atas dukungan yang diberikan.
Selama ini rakyat sudah terlalu menderita. Presiden datang dan pergi silih berganti. Namun keberpihakan mereka kepada rakyat hanya sebatas jargon saat kampanye. Setelah berkuasa, mereka lupa dengan janji-janjinya. Penguasa hanya sibuk melayani para majikan yang menjadi bohirnya. Mereka membayar utang dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan para sponsor tapi merugikan negara dan rakyat Indonesia.
“Mohon maaf, saya menilai Capres/Cawapres yang bertarung di 2019 ini seperti tahu lawan tempe. Padahal rakyat maunya makan ikan, daging dan makan bergizi lainnya. Kalaua ada Paslon yang bersedia memberi komitmen, bahwa mereka akan bekerja ekstra keras untuk menyejahterakan mayoritas rakyat, maka saya akan dukung secara all out,” ungkapnya.
Bagi Rizal Ramli, ukuran paling gampang dari komitme Paslon adalah, mereka mau meninggalkan ideologi neolib dalam membangun Indonesia. Fakta menunjukkan, mazhab neolib yang telah diterapkan selama puluhan tahun tidak bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara yang maju dan rakyatnya sejahtera. Pembangunan yang berbasis utang hanya menimbulkan ketergantungan yang amat tinggi kepada negara-negara pemberi utang.
“Saya banyak berkeliling ke daerah. Saya juga sering didatangi rakyat. Ada petani, petambak garam, pengusaha UMKM, mahasiswa, buruh, aktivis, bahkan ibu-ibu. Semuanya mengeluh hidup makin susah. Pertanyaan saya kepada mereka sederhana saja. Apakah dalam empat tahun ini hidup menjadi mudah. Apakah rakyat yakin 5-6 tahun ke depan hidup akan lebih mudah? Ternyata jawabnya kompak, tidak. Nah, kita harus ubah semua ini. Salah satu yang paling penting, tinggalkan neolib,” tukas Rizal Ramli.
Sampai titik ini, tamsil tahu versus tempe yang disebut Rizal Ramli benar adanya. Kedua Paslon nyaris tidak menawarkan menu baru. Kalau Jokowi diibaratkan tempe, maka yang dirasakan rakyat dalam empat tahun terakhir justru bak dipaksa makan tempe bongkrek.
Masih ingat tempe bongkrek? Tempe bongkrek terkenal di masa Orde Baru pada 1970an. Jenis tempe yang dibuat dari kacang kedelai dan ampas kelapa ini sangat populer di Jawa Tengah khususnya di daerah Banyumas. Sayangnya, tempe ini seringkali menyebabkan keracunan karena terkontaminasi bakteri burkholderia galdioli yang menghasilkan racun berupa asam bongkrek dan toxoflavin. Berkali-kali rakyat di pedesaan tewas karena mengkonsumi. Karena sering menyebabkan korban jiwa, Pemerintah akhirnya melarang penjualan tempe jenis ini.
Nah, empat tahun di masa Jokowi rakyat banyak ‘keracunan tempe bongkrek’ karena beratnya beban hidup. Harga-harga melambung tinggi. Listrik, BBM, gas terus meloanjak harganya karena pengurangan subsidi. Porsi anggaran terbesar justru diutamakan untuk membayar utang. Lapangan kerja sulit didapat, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, dan seabreg kesulitan hidup lain.
Bagi kalangan Islam, ‘tempe bongkrek’ terasa lebih mematikan. Para habaib, ulama, dan ustadz banyak dikriminalisasi. Perlakuan dan penegakan hukum antara muslim dan nonmuslim terasa sangat timpang, dan sejumlah ketidakadilan lainnya yang ummat rasakan
Otoriter?