Berbagai kenyataan yang dialami ummat Islam khususnya dan rakyat secara umum inilah yang melahirkkan ketidakpuasan. Kian lama perasaan ini kian meluas. Ini pula yang menjelaskan mengapa gerakan #2019GantiPresiden begitu disambut antusias di semua daerah tempat. Deklarasikannya selalu dihadiri ribuan bahkan puluhan ribu massa.
Sayangnya, Pemerintah dan atau para pendukung Jokowi justru melakukan banyak blunder. Dengan dalih adanya penolakan dari sebagain kalangan, aparat melarang bahkan membubarkan acara-acara deklarasi. Lebih disayangkan lagi, sampai kini tidak ada sepatah pun kata dari Jokowi tentang persekusi dan intimidasi dari kelompok tertentu dan aparat kepada para peserta dan aktivis #2019GantiPresiden. Padahal, bisa dipastikan Jokowi tahu betul, bahwa dalam konteks demokrasi gerakan ini sah dan konstitusional.
Akibatnya, sikap diam Jokowi atas rentetan peristiwa ini diterjemahkan oleh banyak kalangan sebagai pembiaran terjadinya ketidakadilan. Pasalnya, acara serupa yang bertajuk mendukung jabatannya 2 periode bukan saja diizinkan, tapi sekaligus dihadiri Presiden. Acara digelar secara mewah dan wah menghabiskan anggaran belasan miliar rupiah. Kalau ada kelompok boleh menyatakan aspirasinya untuk mendukung 2 periode, mengapa pihak yang ingin ganti Presiden tidak boleh?
Sikap diam Jokowi ini pula yang disesalkan Rizal Ramli. Dalam cuitannya di @RamliRizal, dia menulis, “Mas @jokowi, melarang diskusi-diskusi dan gerakan-gerakan aspirasi publik adalah “kampanye” terburuk untuk mas @jokowi. Kami dan banyak kawan-kawan melawan sikap-sikap otoriter, bahkan sampai dipenjara 1,5 tahun. Jangan tarik mundur demokrasi. You are in power, tolong pakai cara-cara elegan.”
So, buat para Capres/Cawapres yang berlaga tahun depan, mau dapat dukungan dan suara rakyat? Jangan beri rakyat tahu atau tempe lagi!
Oleh: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS).