Pemilih memperlihatkan surat suara saat mengikuti simulasi dan pencoblosan surat suara Pemilu 2019 di Taman Suropati, Jakarta, Rabu (10/4). Simulasi tersebut digelar untuk meminimalisir dan kekurangan saat pencoblosan pemilu 17 April mendatang. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, aktual.com – Konsep spiritual Hindu menyebut situasi kegelapan dan keruntuhan sebagai zaman Kaliyuga. Dari sudut pandang ilmiah, sosiolog dan futurolog Francis Fukuyama menyebut situasi yang kita hadapi seperti itu sebagai “great disruption”, guncangan besar.

Fukuyama merilis pandangannya itu melalui sebuah buku yang terbit tahun 1999 dengan judul “The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order”. Buku itu pada tahun 2005 telah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Freedom Institute dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dengan judul “Guncangan Besar”.

Buku yang ditulis oleh Fukuyama itu pada dasarnya adalah sebuah proyeksi terhadap dampak atau akibat dari revolusi teknologi informasi yang tidak selalu positif. Revolusi teknologi informasi dapat diibaratkan seperti gempa. Nilai-nilai luhur diibaratkan seperti bangunan yang runtuh diguncang oleh gempa. Tatanan sosial dan politik yang mapan dalam sebuah negara juga retak dan runtuh diguncang gelombang keempat revolusi tersebut.

Konsep negara-bangsa (nation-state) misalnya, konsep ini telah meng-cluster umat manusia sekian abad lamanya. Namun, konsep negara-bangsa adalah diantara tatanan lama yang sedang mendapat hantaman dan guncangan sangat keras oleh gempa atau gelombang revolusi digital. Dunia diprokyeksikan sedang menuju pada situasi runtuhnya konsep negara-bangsa. Katanya dunia yang baru adalah dunia tanpa batasan negara-bangsa.

Dunia yang lama atau the old wolrd adalah dunia yang di-cluster, baik cluster alamiah berdasarkan suku bangsa, maupun cluster politik berdasarkan negara. Dunia yang seperti itu katanya telah melahirkan peperangan dan penghisapan oleh satu bangsa terhadap bangsa lain. Bung Karno menyebut
exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation.

Struktur dunia yang demikian itu dibangun persis piramida, yang berbentuk prisma, segi lima, mengkerucut ke puncak, dengan pusat kendalinya yang tunggal dan simetris. Minoritas orang, minoritas perusahaan dan minoritas negara, berada di puncak piramida. Mereke mengendalikan nasib mayoritas orang dan mayoritas negara yang terjajah, terhisap dan tertindas yang berada di kaki piramida.

Namun, hantaman gempa dan gelombang revolusi teknologi informasi diperkirakan akan meruntuhkan bentuk lama dari piramida penindasan tersebut (meminjam metafora Peter L Berger, Piramida Kurban Manusia). Revolusi teknologi informasi akan melahirkan pusat kendali yang baru yang tidak lagi tunggal dan sangat asimetris. Bentuk lama dari nilai-nilai sedang terguncang dan berproses menuju keruntuhannya.

Sementara itu, laju revolusi teknologi informasi tidak secara otomatis mengikutsertakan bentuk baru dari nilai-nilai luhur. Padahal dunia yang sedang kita hadapi saat ini adalah sebuah dunia yang benar-benar baru, sebuah dunia yang tak tergambar di dalam peta perangkat peradaban bentuk lama, yang lahir dari revolusi “manual” abad pencerahan. Dunia yang baru yang ditandai oleh kemajuan teknologi informasi tersebut, pada kenyataanya tak disertai oleh redefensi dan reaktualisasi terhadap nilai-nilai luhur yang menjadi panduan dan landasan peradaban baru.

Situasi patahan sejarah tanpa pegangan nilai-nilai tersebut yang menciptakan kegelapan dan kemerosotan peradaban umat manusia. Situasi great disruption tersebut yang oleh konsep spiritual Hindu dikatakan sebagai siklus zaman Kaliyuga, zaman kegelapan dan keruntuhan nilai-nilai luhur.

Puncak Kaliyuga

Siklus perubahan zaman dari gelap berganti terang sesungguhnya telah digambarkan di dalam konsep spiritual agama-agama. Siklus zaman Kaliyuga ditandai oleh kegelapan dan kehancuran peradaban umat manusia. Kemerosotan peradaban seperti kekacauan, kerakusan, konflik sosial, peperangan, benturan politik dan dekadensi akhlak adalah diantara situasi yang menonjol di puncak zaman Kaliyuga itu.

Pada zaman kaliyuga itu, katanya hati manusia tidak lagi tertuju kepada Tuhan. Nilai-nilai luhur yang diajarkan Tuhan melalui kitab-kitab yang dibawa para utusannya tidak lagi melandasi dan memandu perbuatan manusia. Digambarkan katanya “manusia yang berhati sebaik emas, kemudian merosot menjadi berhati semulia perak, lalu merosot lagi senilai tembaga dan akhirnya menjadi sekeras besi yang nilainya rendah dibanding dengan logam-logam lainnya”.

Katanya pada zaman itu kepuasan hatilah yang menjadi tujuan utama dari kehidupan manusia. Apabila manusia sudah dapat memenuhi segala hasrat yang bersifat keduniawian, berupa harta dan tahta, maka puaslah hati orang tersebut. Dikatakan juga, pada zaman itu orang-orang yang baik moralnya berumur sangat pendek, sebaliknya orang-orang yang jahat berumur panjang.

Dalam kitab Kakawin disebutkan diantaranya bahwa ciri-cira zaman Kaliyuga adalah, ketika manusia tidak memiliki lagi harga diri, tidak punya martabat dan kehormatan. Manusia di zaman tersebut lebih mengutamakan harta dan tahta. Digambarkan, bahkan para pemuka agama, para perwira dan para cendekiawan, dikatakan kehilangan kehormatannya dengan mengabdi di kaki orang-orang kaya.

Ciri lain dari zaman Kaliyuga itu adalah ketika ajaran-ajaran agama diabaikan, disalahgunakan, diputarbalikan dan dijadikan sebagai alat semata. Agama katanya diperalat untuk meraih kekuasaan dan mengeruk kekayaan semata. Para rohaniawan pemuka agama bahkan dihina oleh raja karena perbuatan mereka yang tidak pantas lagi untuk dihormati. Demikian juga para raja juga dihina oleh bawahannya, dikarenakan perilaku sang raja yang tidak lagi pantas untuk diteladani.

Kita memang sedang memasuki puncak dari zaman Kaliyuga, yang entah berapa lama lagi berlangsung. Ilmuan Fritjof Capra menggambarkan puncak siklus Kaliyuga itu sebagai “the turning point” (titik balik). Capra menulis pemikirannya itu di dalam sebuah buku “The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture, terbit 1982. Buku itu terbit dalam edisi bahasa Indonesia tahun 1997 dengan judul “Titik Balik Peradaban”.

Titik balik peradaban adalah ketika puncak kemajuan teknologi informasi di satu sisi telah menyuguhkan fantasi, hasrat dan pesona harapan baru. Di dalamnya segala kemudahan kehidupan disajikan. Demikian juga mimpi tentang pemerataan ekonomi dan pengetahuan, serta demokratisasi dan keadilan sosial.

Namun di sisi yang lain, peradaban baru yang menjadikan teknologi digital sebagai driving force itu bagaikan hasrat tidak terbendung yang telah menyeret dan menjebak manusia ke atas turbing keruntuhannya. Pertumbuhan peradaban umat manusia menurut Capra telah mencapai antiklimaksnya menuju pada kemusnahan yang kesekian kalinya.

Jika kita belajar pada sejarah, belajar pada kitab-kitab Agama, di satu sisi, umat manusia memang berhasil mencapai kemajuan tertinggi di level teknis. Namun pada saat yang sama, nilai-nilai luhur yang melandasi dan memandu peradaban umat manusia itu justru diabaikan dan tertinggal jauh di belakang dari kecepatan revolusi di level teknis.

Di dalam kita suci Quran disebutkan ada tiga kaum yang berhasil mencapai kemajuan tertinggi di level teknis seperti itu di zamannya. Kaum Aad, kaum Tsamud dan kaum Madyan, mereka adalah kaum cendikiawan yang pernah ada di bumi. Mereka dianugerahi kemampuan sebagai arsitek dan keahlian membangun bangunan tinggi. Namun, dikisahkan ketiga kaum itu dimusnahkan oleh Tuhan karena kemajuan-kemajuan teknis justru dijadikan sebagai sarana untuk berbuat dzalim dan tidak menyembah Tuhan sang maha pencipta.

Pilpres Di Puncak Kemerosotan

Atmosfir di puncak zaman Kaliyuga itu yang membentuk situasi sosial dan politik dalam menghadapi Pemilihan Umum dan Pemilihan Pilpres tahun 2019. Atmosfir zaman Kaliyuga itu yang melahirkan situasi politik yang penuh dengan pertentangan dan kekacauan. Kemerosotan moral bahkan terjadi di seluruh level dan segmen masyarakat. Perilaku para pemimpin dan pemuka agama nyaris tidak jauh berbeda dengan rakyat kebanyakan.

Atmosfir zaman Kaliyuga itu yang menyempurnakan krisis dalam seluruh aspek kehidupan bangsa. Keadaannya dapat digambarkan persis seperti roti yang terpanggang secara merata dari seluruh sisi dan bagiannya. Baik dari bagian dalam maupun bagian luar, baik dari sisi atas maupun dari sisi bawah.

Atmosfir zaman Kaliyuga itu turut menyempurnakan keruntuhan peradaban bangsa. Keadaan bangsa dalam menghadapi momentum Pilpres 2019 digambarkan persis seperti bangunan tua yang seluruh sisinya runtuh secara serempak, pondasinya ambles, dindingnya retak, atapnya pecah dan bocor, hingga seluruh perabotannya yang digerogoti oleh rayap.

Atmosfir zaman Kaliyuga tersebut akan turut mempercepat keruntuhan sistem reformasi dan praktek demokrasi liberal Indonesia, jika Capres petahana memaksakan diri untuk memenangkan pertarungan di Pilpres dengan menghalalkan segala cara, yaitu dilakukan dengan money politic, menggerakkan pegawai ASN dan BUMN, Polri dan TNI, melakukan kecurangan dalam berbagai modus hingga rekayasa teknologi informasi.

Haris Rusly Moti, Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 dan Pemrakarsa Intelligence Finance Community (InFINITY)

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin