Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif tak menampik bahwa jajaran komisioner sudah menandatangani surat perintah dimulainya penyidikan atas nama Eddy Sindoro.
Dengan penandatanganan Sprindik itu, berarti penyidik telah menetapkan bekas Komisaris Lippo Group sebagai tersangka. “Tidak harus diumumkan semua kan. Itu kan kemarin sudah dikatakan di persidangan ya. Jadi ini sekaligus mengklarifikasi bahwa di KPK memang itu sudah ditandatangani,” ujar Syarif saat dikonfirmasi di Gedung KPK, Selasa (22/11) malam.
Dijelaskan Syarif, penyidik telah mengantongi dua alat bukti yang cukup, hingga kemudian menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka. Alat bukti yang digunakan diambil dari beberapa barang sitaan dari kasus dugaan suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
”Bahwa sebagian yang disita itu adalah untuk dijadikan sebagai alat bukti untuk kasus yang lain.”
Menurutnya, ada alasan mengapa KPK belum mengumumkan penetapan status Eddy Sindoro sebagai tersangka. Salah satu pertimbangannya ialah keberadaan yang bersangkutan. “Itu salah satunya alasannya, karena beliau itu kan lagi tidak berada di Indonesia dan sedang dalam pencarian.”
Seperti diwartakan sebelumnya, dalam sidang pembacanaan surat Edy Nasution, Jaksa Penuntut Umum KPK meminta Majelis Hakim untuk tetap mensita sejumlah barang bukti. Kata Jaksa KPK, beberapa barang bukti itu akan digunakan untuk dalam kasus yang terkait dengan Edy.
Apakah barang bukti tersebut akan digunakan dalam penyidikan atas nama Eddy Sindoro? Hal ini pun sudah dikonfirmasi ke Jaksa KPK yang menangani kasus Edy, Dzakiyul Fikri.
“Kalau perkara yang bersangkutan tentunya ada perkara lain untuk itu. Tunggu itu di kantor (KPK),” ujar Dzakiyul saat ditemui usai sidang Edy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/11).
Untuk diketahui, dalam surat dakwaan baik untuk Doddy atau Edy, nama Eddy Sindoro disebut sebagai pihak yang memberikan izin penyerahan sejumlah uang ke Edy. Uang-uang tersebut terkait penanganan perkara perusahaan Lippo Grup di PN Jakpus.
Pertama, uang Rp1,5 miliar terkait eksekusi lahan terhadap PT Jakarta Baru Cosmopolitan. Pemberian uang miliaran itu untuk menggerakkan Edy agar mengurus perubahan redaksional atau revisi surat jawaban dari PN Jakpus.
Perubahan dilakukan demi menolak permohonan eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasarkan putusan Raad Van Justitie Nomor 232 Tahun 1937 pada 12 Juli 1940 atas tanah yang berlokasi di Tangerang. Selain itu, uang tersebut diberikan agar Edy tidak mengirimkan surat tersebut kepada pihak pemohon eksekusi lanjutan.
Pemberiannya dilakukan setelah Eddy Sindoro menugaskan salah satu anak buahnya, Wresti Kristian Hesti untuk bertemu Edy dan mengurus penundaan eksekusi. Kedua untuk penundaan proses pemanggilan atau ‘aanmaning’ perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana melawan PT Kwang Yang Motor. Suap untuk Edy sebesar Rp100 juta.
Terakhir terkait uang Rp500 juta untuk pengajuan Peninjauan Kembali atas perkara niaga PT Across Asia Limited melawan PT First Media.
Laporan: M Zhacky Kusumo
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu