Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membuka penyelidikan baru, untuk menelusuri dugaan suap dari perusahaan pengembang reklamasi pantai utara Jakarta kepada DPRD DKI.
Adanya penyelidikan tersebut disampaikan langsung oleh Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif, saat ditanya mengenai fakta persidangan
“Iya itu kan sedang dalam proses penyelidikan,” jelas Syarif, saat diwawancarai di gedung KPK, Jakarta, Jumat (22/7).
Mantan Rektor Universitas Hasanuddin ini coba meyakinkan masyarakat bahwa pihaknya tidak akan berhenti menelusuri kasus dugaan suap, yang telah menjerat Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja.
“Iya itu kan sedang dikerjakan KPK. Itu tidak pernah berhenti, sampai sekarang kita masih bekerja,” tegasnya.
Kendati demikian, Syarif enggan membenarkan bahwa penyelidikan itu terkait dugaan pemberian uang dari Chairman PT Agung Sedayu Grup, Sugiyanto Kusuma alias Aguan kepada Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi.
“Belum bisa kita beritahukan sekarang,” pungkasnya.
Seperti diketahui, dalam beberapa persidangan Ariesman Jaksa dari KPK memutar beberapa rekaman sadapan. Tercatat, ada rekaman sadapan antara Aguan, Prasetyo dan Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik.
Ada pemutaran sadapan antara mantan Ketua Komisi D DPRD DKI, Mohamad Sanusi dengan Manajer Perizinan Agung Sedayu, Syiful Zuhri alias Pupung.
Dalam percakapan Sanusi dengan Pupung, ada pembicaraan soal Prasetyo yang dinilai serakah. Kata Sanusi kepada Pupung, Edi, politikus PDI-P terlalu banyak mengambil dana dari pengembang reklamasi.
“Kemudian Sanusi mengatakan, Edy Prasetyo membagi dananya sangat kacau, bahwa dia sendiri kebanyakan. Saya minta Sanusi mengabari saya mengenai jadi atau tidak paripurna hari ini, karena mau beri laporan ke Sugiyanto,” demikian rekaman pembicaraan keduanya, diperjelas Jaksa dengan membacakan BAP Pupung, di Pengadilan Tipikor Jakarta, 14 Juli 2016.
Yang paling menarik adalah percakapan antara Aguan, Prasetyo dan Taufik. Sebab, disini terungkap adanya ‘kongkalikong’ antara ketiganya.
Aguan meminta Taufik untuk merubah besaran NJOP dari awalnya sebesar Rp8 juta menjadi Rp3 juta per m2. Dalam percakapan tersebut terdengar Ketua DPRD DKI, Prasetyo Edi Marsudi yang lebih dulu berbicara dengan Taufik.
“Yang masalah NJOP sudah beres kan? Yang Rp2 juta atau Rp3 juta atau berapa itu?,” ujar Prasetyo kepada Taufik.
“Apa?,” kata Taufik.
“Pokoknya Rp jutaan lah sama totalnya sampai hitungan itu. Yah si toke maunya Rp3 juta saja tuh,” sambung Prasetyo.
“NJOP? Bener nih mau Rp3 juta? Gua Rp3 jutaan. Sudah Rp3 juta kan, kemarin gua bilang Meri (Wakil Ketua Balegda),” jawab Taufik.
“Nah, ya sudah kalau Rp3 juta NJOP, besok dihitung ya,” ucap Prasetyo.
“Karena besok kan dipanggil Badan Pertanahan Negara (BPN), dipanggil Perpajakan,” ungakp Taufik.
Inilah detik-detik Aguan berbicara.
“Iya sudah, kalau suruh Rp3 juta ya kita bikin Rp3 juta. Nih lo ngomong ya sama Toke,” tutur Prasetyo.
“Siap,” singkat Taufik.
“Fik, fik,” panggil Aguan.
“Siap siap,” jawab Taufik.
“Kalau Rp3 juta itu, kalau kotor. Bersihnya sudah Rp10 juta lah,” jelas Aguan.
“Rp3 juta? Jadi Rp 3juta?,” tanya Taufik ke Aguan.
“Rp3 juta. Kalau tidak juga,” ucap bos Agung Sedayu.
“Hah?,” tanya Taufik.
“Kalau Rp3 juta itu bersihnya, kalau bersihnya itu sudah Rp10 juta ke atas lah,” papar Aguan.
“Iya iya,” jawab Taufik.
“Karena Rp3 juta kan kotor, itu gross,” ujar Aguan.
“Iya iya,” singkat Taufik.
“Gitu loh cara hitungannya. Bagaimana kalau karena ini boleh pakai kan cuma 30 persen lebih. Betul gak? Kalau Rp3 juta, kalau itu sudah Rp10 juta belum jalan belum apa secara umum. Betul gak?,” terang Aguan.
Taufik pun mengiyakan permintaan salah satu bos pengembang reklamasi pantura Jakarta itu.
“Iya iya pak,” turut Taufik.
“Iya makasih,” tutup Aguan.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby