Jakarta, Aktual.com — Urgensi dan transparansi dari pinjaman China Development Bank (CDB) kepada tiga bank BUMN yang diinisiasi oleh kementerian BUMN dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo mencurigai pinjaman ke CDB dilatarbelakangi banyaknya kerja sama proyek infrastruktur antara Indonesia dan Tiongkok. Pasalnya, pemerintah akhirnya tidak meminjam ke negara lain, ADB atau lembaga keuangan lain yang tingkat suku bunganya lebih rendah dengan tenor yang sama.
“Ada apa dengan pemerintah sekarang ini, apakah pinjaman ini merupakan politik balas budi karena pemerintah banyak kerja sama dengan Tiongkok dalam proyek infrastruktur,” ujar Bambang dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (23/2).
Menurutnya, tingkat bunga yang ditawarkan CDB sebesar 2,8% untuk pinjaman dalam dolar AS dan 3,3% untuk renminbi. Padahal, bunga pinjaman jangka panjang dari Jepang umumnya di bawah 1%, termasuk bunga Samurai Bond yang diterbitkan pemerintah Indonesia di pasar obligasi Jepang, yakni hanya 0,91% untuk obligasi yang berjangka 10 tahun. Bunga pinjaman yang ditawarkan ADB juga lebih rendah yakni 1,2% dengan masa tenggang pembayaran (grace period) 5 tahun dan tenor pengembalian 20 tahun.
“Pemerintah tidak tanggap untuk mencari investor yang bisa memberikan bunga lebih rendah dan tenor lebih panjang,” ungkapnya.
Alasan pemerintah menggunakan pinjaman CDB untuk pembangunan infrastruktur juga patut dipertanyakan. Pasalnya, biaya infrastruktur yang mencapai Rp270 triliun sudah dibiayai dari pengalihan subsidi bahan bakar minyak untuk rakyat.
“Mengapa pinjaman tersebut tidak digunakan untuk swasembada pangan dan menumbuhkan ekonomi kerakyatan seperti mengembangkan UMKM kita,” ujarnya.
Dirinya tidak setuju jika pinjaman CDB ke tiga bank BUMN itu untuk membiayai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang bekerja sama dengan investor Tiongkok. Dana pinjaman itu juga dikhawatirkan disalurkan untuk investor Tiongkok di sekitar proyek (hinterland) kereta cepat tersebut.
“Pertanyaan saya, apakah sudah ada kajian yang mendalam dalam waktu yang cukup untuk mengetahui apakah kereta cepat tersebut memang layak didanai. Apalagi, kualitas produk Tiongkok lebih rendah dibandingkan dengan produk dari Jepang misalnya.”
Pertanyaan lainnya, lanjut Bambang, adalah apakah pinjaman tersebut memakai dasar hukum yang berlaku di Indonesia atau China.
“Kami meminta pemerintah dan BUMN kita yang menerima pinjaman itu menjelaskan secara transparan kepada masyarakat. Manfaat apa yang bisa dirasakan oleh masyarakat secara luas dari pinjaman tersebut,” ungkapnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka