Karena setiap suara yang masuk dalam DPT adalah suara sah secara nasional dan suara sah tersebut secara otomatis telah bergabung didalam Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen karena yang memperjuangkan hak memilih untuk tidak memilih adalah wujud kedaulatan rakyat

“Mengapa harus dirubah persentasinya? Karena data memilih untuk tidak memilih jauh lebih besar jumlahnya dari Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, seperti yang dirilis KPU sejumlah 30,42%,” urai dia.

Sedangkan pada Pasal 226 Angka 1. lanjut Sudardjo seharusnya pasal frasanya dirubah dan dinyatakan tidak mengikat Pasal 226 angka 1, bakal pasangan calon didaftarkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan/atau Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen ke KPU dan pasangan calon yang suaranya lebih banyak ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang secara demokratis.

Sementara alasan yang dikemukakan oleh Sudarjo melakukan pengujian Pasal 222 dan 226 angka 1 Nomor 7 Tahun 2017 karena KPU belum mengakomodir angka memilih yang tidak memilih karena pemilih yang mengambil sikap tidak memilih termasuk didalam DPT (daftar pemilih tetap).

Karena kami (pemilih yang tak mencoblos) berada dalam daftar pemilih tetap. Maka kami adalah suara sah nasional dan bisa dikatakan pemenang sah atas pemilihan umum apabila suara kami melampaui orang-orang mencoblos partai lainnya karena kemenangan kami pun merupakan representasi sejati, kemenangan dan kedaulatan rakyat.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid