Satgas Anti-Korupsi Gabungan Polri dan KPK (Aktual/Ilst)
Satgas Anti-Korupsi Gabungan Polri dan KPK (Aktual/Ilst)

Jakarta, Aktual.com – Ketua Bidang Polhukam DPP PKS Almuzzammil Yusuf menginginkan standardisasi hukum korupsi yang lebih jelas dan seragam terutama untuk pelaku penggelapan uang atau tindak pidana korupsi.

“Hukum Indonesia tidak punya standar yang jelas dan seragam untuk aneka pelanggaran korupsi. Sehingga vonis hukum kerap terjadi ketimpangan antara vonis dengan nilai korupsi,” kata Almuzzammil Yusuf dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (27/7).

Menurut Almuzzammil, belum adanya standardisasi yang jelas dan seragam dapat berakibat vonis hukum bisa menjadi subjektivitas hakim.

Apalagi, menurut dia, kondisi tersebut dinilai juga diperparah dengan adanya mafia peradilan dan intervensi politik.

Almuzzammil mengimbau agar pemerintah harus menggunakan langkah strategis dengan standardisasi vonis hukum untuk koruptor.

“Caranya di antara lain pada tolok ukur nilai korupsinya. Korupsi Rp 1 triliun misalnya, jelas berbeda vonis hukumnya dengan yang Rp 1 miliar atau yang Rp 100 juta dan seterusnya,” katanya.

Dia mengingatkan sejumlah pihak mencatat bahwa rendahnya vonis hakim dalam kasus korupsi dari tahun ke tahun cenderung menurun.

Jika pada tahun 2013 rata-rata vonis terpidana korupsi masih 2 tahun 11 bulan, pada tahun 2014 tercatat 2 tahun 8 bulan, pada tahun 2015 tercatat 2 tahun 2 bulan, dan pada semester 1 tahun 2016 tercatat 2 tahun 1 bulan.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Pandjaitan mengatakan saat ini Pemerintah sedang mengkaji kebijakan untuk tidak memenjarakan terpidana korupsi. “Kalau dia (koruptor) terbukti merugikan negara, kita bisa hukum dengan mengembalikan uang negara, ditambah penalti dan pemecatan dari jabatannya. Kalau masuk penjara, maka penjara kita bisa penuh nanti,” ujar Luhut di kantornya, Jakarta, Selasa (26/7).

Kebijakan ini diambil dengan alasan bahwa para koruptor dinilai tidak akan merasakan efek jera ketika dibui, sehingga hukuman alternatif kemudian dirancang.

Selain itu, pertimbangan lain untuk tidak memenjarakan koruptor juga dipilih karena kondisi sel di Indonesia yang sudah tidak memadai untuk menerima tambahan narapidana dalam jumlah banyak.

Terkait rancangan kebijakan tersebut, menurut dia, Pemerintah saat ini telah membentuk tim pengkaji penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).

Pemerintah juga sedang membandingkan praktik hukuman alternatif yang digunakan sejumlah negara lain terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, tambahnya.

Namun, Menkopolhukam menerangkan pembahasan mengenai aturan ini masih pada tahap awal, sehingga perlu lebih dimatangkan lagi konsep pemberian hukuman dan efek jeranya.

“Kita masih bicarakan masalah (hukuman) itu, saat ini masih terlalu awal,” ucapnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid