Jakarta, Aktual.com — Ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat hari itu tak ubahnya panggung politik penuh emosi. Di hadapan majelis hakim, sorot kamera, dan tatapan tajam publik, Hasto Kristiyanto berdiri. Dia bukan sekadar terdakwa yang menghadapi dakwaan hukum, tapi seorang pejuang yang mengusung narasi perlawanan.
Dengan suara bergetar, air mata yang tertahan, dan wajah penuh determinasi, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu membuka nota pembelaannya.
“Proses daur ulang ini tidak berada di ruang hampa,” ucap Hasto, menggugah seisi ruang. “Melainkan dipengaruhi oleh kepentingan politik kekuasaan.”
Kalimat itu menyentak. Gemanya mengguncang ruang sidang. Di luar gedung, massa menyemut dengan spanduk dan nyanyian perjuangan. Di dalam, para tokoh politik duduk terpaku, menyimak kata demi kata. Hasto menjelma lebih dari sekadar terdakwa, Hasto menjelma narasi tentang bagaimana hukum bisa digunakan sebagai senjata kekuasaan.
Politikus PDIP itu tak sendiri. Dalam pembelaannya, Hasto menyebut nama-nama yang selama ini mengalami tekanan serupa. Para jurnalis, tokoh demokrasi, pengamat politik, semua yang bersuara kritis.
“Kami hanya meminta keadilan. Demokrasi yang jujur dan hukum yang tegak, bukan dijadikan alat,” katanya.
Hasto lalu menyinggung kembali peristiwa yang menjadi titik balik. Penolakannya terhadap kehadiran tim nasional Israel pada Piala Dunia U-21 tahun lalu. Sebuah sikap politik yang dia tegaskan bersumber dari sejarah panjang bangsa ini, yaitu dari Konferensi Asia Afrika, dari pidato Bung Karno, dari prinsip mendukung kemerdekaan Palestina.
“Saya dihukum karena sikap politik ini,” katanya.“ Karena menolak tunduk pada tekanan kekuasaan. Tapi PDIP mengajarkan kami: kebenaran tidak untuk ditukar.”
Tangis Hasto tak tertahankan ketika ia menyitir pidato Bung Karno. “Revolusi belum selesai,” ujarnya lirih.
Dia menatap sang istri, Maria Stefani Ekowati, yang duduk di belakangnya dengan tatapan penuh cinta dan dukungan. Lalu dia mengutip Megawati Soekarnoputri, “Bendera sudah saya kibarkan. Pantang untuk diturunkan.”
Saat itu, ruang sidang hening. Hasto berhenti sejenak. Menghela napas dalam-dalam. Tangisnya tumpah. Bukan tangisan takut. Tapi tangisan seseorang yang percaya pada perjuangan.
Dia mengingat kembali sejarah partainya. Peristiwa 27 Juli 1996, ketika kantor PDI diserang dalam tragedi Kudatuli.
“Kami berdiri melawan otoritarianisme. Dan hari ini kami berdiri lagi. Di tempat ini. Dengan cara berbeda,” ujarnya.
Menurut Hasto, sejak awal PDI Perjuangan menjadi pelindung suara-suara lemah, suara-suara yang ditindas.
“Ketika pragmatisme politik menguat, kami tetap menjaga ideologi. Ketika kekuasaan menjadi tujuan, kami bertahan di jalan demokrasi,” tegasnya.
Dia menyatakan tuntutan jaksa 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta tidak adil dan tidak proporsional. “Bagaimana mungkin delik obstruction of justice yang tidak terbukti malah dihukum lebih berat dari dugaan suap yang tak pernah saya lakukan?” ujarnya.
Lalu dengan suara bulat, ia memohon pembebasan. “Majelis Hakim, bebaskan saya. Pulihkan nama baik saya. Kembalikan martabat saya sebagai warga negara dan pejuang demokrasi.”
Tepuk tangan perlahan terdengar dari bangku pengunjung. Beberapa berdiri. Beberapa menangis. Sebagian lain mengepalkan tangan.
Solidaritas di Luar, Perlawanan di Dalam
Di luar gedung pengadilan, ribuan massa berkumpul. Mengenakan kaos bertuliskan “#HASTO TAHANAN POLITIK”, mereka bersorak, bernyanyi, dan meneriakkan yel-yel perlawanan.
“Lawan pemilu curang! Jangan takut bicara kebenaran!” teriak seorang relawan. Di tangan mereka, spanduk bertuliskan: “Demokrasi Bukan Milik Penguasa.”
Aksi berlangsung damai, namun membakar semangat. Sementara itu, di dalam ruang sidang, para tokoh hadir, Djarot Saiful Hidayat, Ribka Tjiptaning, hingga Ganjar Pranowo. Mereka tidak hanya hadir sebagai saksi, tapi sebagai penanda bahwa Hasto tidak sendiri.
Sidang itu pun ditutup dengan pleidoi kuasa hukum Hasto, Patra M. Zen. Ia berdiri tegak, membuka fakta satu per satu.
“Hasto adalah tumbal dari kegagalan KPK menangkap Harun Masiku,” ucapnya lantang.
Patra menyebut, kegagalan penangkapan Harun bukan kesalahan Hasto, tetapi kesalahan KPK sendiri yang gegabah mengumumkan OTT Wahyu Setiawan ke publik sebelum waktunya. “Inilah yang membuat Harun kabur. Tapi kenapa yang dituduh menghalangi justru Hasto?” tanyanya.
Ia juga membantah tuduhan bahwa Kusnadi—staf Hasto—dengan menenggelamkan ponsel pada Juni 2024 dianggap sebagai penghambat penangkapan Harun Masiku. “Harun sudah buron sejak Januari 2020. Di mana logika hukumnya?”
Dengan lantang, Patra menyebut Hasto sebagai korban politik, bukan pelaku kejahatan. “Alih-alih merefleksi kegagalan, KPK malah cari kambing hitam. Hasto-lah yang dikorbankan.”
Hari itu, ruang sidang tak hanya bicara tentang hukum. Dia bicara tentang perlawanan. Tentang sejarah. Tentang suara yang tak sudi bungkam. Pleidoi Hasto bukan hanya meminta kebebasan. Ia mengingatkan kita bahwa demokrasi harus dijaga, walau dengan harga air mata.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















