Jakarta, Aktual.com — Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jarman mengatakan krisis listrik di Pulau Nias harus ditangani dengan cara apapun untuk memastikan listrik di Sumatra Utara itu kembali beroperasi secara normal.

“Nias itu harus tetap nyala, harus ada plan B. Plan B nya itu bahwa diluar APR (American Power Rental) harus sudah terpasang listrik yang sudah memenuhi demand,” kata Jarman di Jakarta, Jumat (20/5).

Dia menambahkan sejak terjadi permasalahan antara PLN dengan APR, sudah ada penanganan melalui penambah daya listrik berupa genset sebesar 17 MW, walaupun ketersediaan ini masih kurang dibanding dengan kebutuhan rakyat Nias sebesar 26 MW.

“Sampai status kemarin itu sudah ada 17 MW di luar yang 20 MW milik APR. Jadi total yang sekarang itu kemampuannya sudah beroperasi 37 MW. lalu kita lihat demandnya kan 26 MW,” timpalnya.

Namun untuk mengantisipasi jika APR kembali melakukan pemutusan supply listrik, dia menjanjikan akan menambah daya listrik sebesar 12 MW pada akhir bulan ini.

Seperti diketahui bahwa pada awal bulan lalu, APR memutuskan untuk menghentikan operasinya karena pihak PLN belum membayar tagihan terhadap APR selaku pihak pengembang atau Power Purchase Agreement (PPA).

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menanggapi bahwa kebijakan PLN sulit dicerna dengan akal sehat sehingga mengabaikan hak publik untuk mendapatkan listrik

“Negara kita sudah merdeka hampir mencapai usia 71 tahun, tentu suatu kebijakan PLN yang sulit dicerna oleh akal sehat, bagaimana mungkin hak publik telah gagal menerima pelayanan soal kebutuhan listrik,” kata Yusri Usman kepada Aktual.com, Kamis (19/5).

Lebih lanjut dia mengatakan dengan adanya pemutusan aliran listrik yang telah terjadi, masyarakat nias mengalami kerugian ekonomi yang besar. Menurutnya pemerintah harus segera meninjau jajaran direksi dari pusat hingga tingkat daerah.

“Saatnya pemerintah meninjau jajaran direksi PLN mulai tingkat pusat hingga tingkat daerah Sumatera Utara, karena sejak tahun 2007 listrik mati seperti minum obat, bisa sehari 3 kali,” tukasnya.

Menurutnya tindakan dari APR tersebut merupakan bentuk frustasi investor dalam berhubungan dengan PLN. Dengan kinerja seperti itu, dia pesimis atas program listrik 35.000 MW.

“Soal kebutuhan listrik APR yang kapasitas 20 MW ini saja tidak beres diselesaikan oleh stake holder bidang energi, apalagi bicara bangun pembangkit 35.000 MW. Saya pikir itu program bisa diklasifikasikan sebagai program (pungguk merindukan bulan) bagi Pemerintahan Jokowi-JK,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan