Halusinasi mbok Sri
Sekarang pertanyaannya, kok bisa-bisanya Sri menulis surat yang seolah-olah (bakal) ada badai keuangan di PLN. Di surat memang belum memvonis gagal bayar. Dia ‘hanya’  menulis dapat berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PT PLN. Halusinasi belaka?

Tapi jangan lupa, surat itu ditulis seorang Menkeu. Tulisan dan lidah Menkeu jelas berbeda bobotnya dengan mbok-mbok penjual jamu yang keliling menjajakan dagangannya. Walau pun, bisa saja, sang mbok penjual jamu itu sama-sama bernama Sri. ‘Batuk dan bersinnya’ seorang Menkeu bisa bermakna dan dimaknai macam-macam oleh kalangan ‘pasar’.

Celakanya lagi, surat itu bocor kemana-mana. Itulah sebabnya Sofyan dan Jonan buru-buru menggelar jumpa pers, tujuannya, tentu saja, agar para kreditor tetap adem tentrem. Maklum lah, yang bikin surat dan khawatir seorang Menkeu gitu, loh…

Pelajaran apa yang bisa dipetik publik dari kegaduhan kali ini. Pertama, kekhawatiran Sri sama sekali tidak beralasan. Kondisi keuangan PLN aman-aman saja. Jauh dari bayang-bayang gagal bayar seperti yang dikhawatirkannya.

Kedua, ini menyangkut kredibilitas. Bagaimana mungkin Menkeu bisa begitu khawatir padahal kondisinya damai dan tenteram. Kalau ditanya, mana yang anda percaya kekhwatiran Sri atau penjelasan manajemen PLN, tentu saya lebih percaya pada yang kedua. Maaf ya, Sri.

Tapi lagi-lagi, yang hingga kini belum masuk akal saya, kok bisa-bisanya Sri menulis seperti itu? Dari mana dia mendapat pasokan info? Katakanlah dia mendapat feeding data salah dari anak buah, kan Sri bisa cross check kepada Jonan, Rini, atau Sofyan tanpa harus menulis surat. Apalagi sebagaimana disampaikan Sofyan, sebetulnya ‘teguran’ semacam itu rutin dan biasa saja. Cuma, lanjut dia, biasanya disampaikan secara lisan. Bukan dengan surat.

Nah, kemampuan melakukan cross check inilah yang menunjukkan kualitas Sri. Dia terlalu gegabah, apalagi sampai menulis surat, yang akhirnya bocor. Padahal, kekuatan asing dan media mainstream sudah kadung memoles dia sebagai Menkeu jempolan dan ekonom mumpuni. Hmm…

Akhirnya, apakah motivasi sesungguhnya di balik surat Sri itu? Apakah ada kaitannya dengan poin kelima (terakhir) dari suratnya yang berbunyi; Terkait dengan penugasan 35 GW, kami berpendapat perlu dilakukan penyesuaian target penyelesaian investasi PT PLN dengan mempertimbangkan ketidakmampuan PT PLN dalam memenuhi pendanaan investasi dari cashflow operasi, tingginya outlook debt maturity profil, serta kebijakan pemerintah terkait tarif, subsidi listrik, dan penyertaan modal negara (PMN). Hal ini diperlukan untuk menjaga sustainabilitas fiskal APBN dan kondisi keuangan PT PLN yang merupakan salah satu sumber risiko fiskal pemerintah‎.

Paragraf ini redaksinya memang melingkar-lingkar. Tapi benang merahnya bisa ditemukan dalam satu tarikan nafas pendek; serahkan sebagian pembangunan pembangkit 10 GW, dari megaproyek 35 GW, yang menjadi jatah PLN kepada swasta. Maknanya, beri swasta peluang lebih luas lagi. Cocok dan pas dengan semangat neolib yang selalu diusung Sri!

Satu lagi, entah ada atau tidak hubungannya surat itu dengan pakem Word Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB) dalam soal utang. Ikon kekuatan neolib dunia itu memang dikenal sangat rigit dalam hal utang. Mereka mensyaratkan debt coverage ratio 1,5 kali. Artinya, kalau anda punya utang Rp10, maka jumlah minimal penghasilannya Rp15 rupiah.

Apakah dengan suratnya itu Sri sedang ‘mewakili’ WB dan ADB untuk memastikan duit kedua lembaga itu yang dipinjam PLN tetap aman? Wah, saya ndak tahu. Hanya yang bersangkutan dan Allah yang mengetahui.

Dari Rp296 triliun utang PLN, berasal dari bank lokal. Sisanya asing. Sedangkan utang dari ADB dan WB hanya sekitar US$1,1 miliar.

“PLN enggak ada masalah dalam hal ini,” ungkap Sofyan. Nah, kan… (*)

Ditulis Oleh: Edy Mulyadi,
Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka