Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Fahmy Radhi, menilai PT PLN (Persero) sulit menghindari kerugian yang tercatat mencapai Rp6,49 triliun sepanjang semester pertama 2018.

“Kerugian ini lebih disebabkan variabel eksternal yang memang sulit dikontrol oleh manajemen PLN,” katanya di Jakarta, Jumat (13/7).

Pada periode yang sama pada 2017, PLN masih mampu meraup laba bersih sebesar Rp510,17 miliar.

Menurut Fahmy, kerugian PLN pada semester pertama 2018 bukan disebabkan penurunan pendapatan, melainkan akibat pembengkakan harga pokok penyediaan (HPP), yang sulit dikontrol PLN.

“Manajemen PLN tidak bisa menurunkan HPP, karena pembengkaan HPP itu utamanya dipengaruhi variabel eksternal yang tidak dapat dikontrol PLN,” ujarnya.

Ia melanjutkan meski pemerintah tidak menaikkan tarif listrik sejak Januari 2018, namun pendapatan PLN selama semester pertama 2018 masih meningkat.

Penjualan listrik mengalami peningkatan dari Rp57,53 triliun pada semester pertama 2017 naik menjadi Rp62,91 triliun pada semester pertama 2018.

“Namun, peningkatan pendapatan itu tidak mampu menutup pembengkakan biaya usaha, terutama peningkatan HPP listrik yang melambung tinggi,” katanya.

Fahmy menyebutkan beberapa variabel eksternal, yang sulit dikontrol PLN, sebagai penyebab kerugian adalah kenaikan harga pembelian energi primer khususnya BBM, gas, dan batubara.

Harga minyak mentah dunia mencapai 69 dolar AS per barrel, sehingga biaya BBM dan gas PLN meningkat dari Rp27,66 triliun pada semester pertama 2017 menjadi Rp33,52 triliun pada periode sama 2018.

“Demikian juga harga batubara dunia yang 96 dolar AS per ton sangat membebani HPP listrik. Meski kemudian, tertolong kebijakan ‘domestic market obligation’ (DMO) sebesar 70 dolar AS per ton terhitung 1 Maret 2018,” katanya.

Variabel eksternal lain sebagai penyebab kerugian PLN, menurut Fahmy, adalah biaya pembelian tenaga listrik dari pembangkit swasta yang meningkat dari Rp15,15 triliun pada semester I/2017 naik menjadi Rp18,14 triliun pada periode sama 2018.

Selanjutnya, variabel inflasi memang masih terkendali dalam semester pertama 2018, tetapi pada periode sama kurs rupiah melemah hingga di atas Rp14.000 per dollar AS.

Pelemahan rupiah itu membebani HPP listrik lantaran sebagian besar pengadaan pembangkit listrik PLN dibeli dengan menggunakan kurs dolar AS, sedangkan pendapatan PLN dalam rupiah.

“Peningkatan harga energi primer yakni BBM, gas, dan batu bara, lalu kenaikan biaya pembelian listrik dari pembangkit swasta, serta pelemahan rupiah menjadi penyebab utama PLN merugi. Semua variabel eksternal itu di luar kontrol (uncontrollable) PLN,” ujar Fahmy.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: