Dirut PT PLN, Sofyan Basir saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komite II DPD RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/3/2016). Rapat ini membahas Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2015-2024. AKTUAL/JUNAIDI MAHBUB

Jakarta, Aktual.com – Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mempertanyakan rencana PT PLN (Persero) mengakuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak perusahaan Pertamina.

“Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan PLN. Makanya perlu dipertanyakan, mengapa PLN ingin mengakuisisi PGE,” kata Komaidi yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute di Jakarta, Jumat.

Menurut Komaidi, kompetensi PLN di sektor energi bukan pada sisi hulu melainkan hilir yaitu pembangkitan dan transmisi listrik.

Sementara untuk panas bumi, karakteristiknya lebih tergantung pada keberhasilan di hulunya. Sehingga yang memiliki kapasitas dan kapabilitas adalah industri migas, seperti Chevron, Medco, Pertamina, dan sebagainya.

Ia mengatakan masih banyak tugas lain yang harus diselesaikan PLN ketimbang mengurusi usaha panas bumi. Terkait proyek pembangkit 35.000 MW, misalnya saat ini yang belum terkontrak mencapai 70 persen. Bahkan, dari 30 persen yang sudah memiliki kontrak, hanya beberapa di antaranya yang sudah beroperasi (commercial operation data/COD).

“Itu kan harus diselesaikan PLN dan membutuhkan dana sangat besar. Lalu mengapa tiba-tiba ingin mengakuisisi Chevron dan PGE, yang sudah pasti juga akan mengeluarkan uang lagi,” lanjut dia.

Komaidi menyarankan PLN sebaiknya membangun sendiri pembangkit listrik tenaga panas bumi. Dengan demikian, kapasitas pembangkitan listrik dari panas bumi bertambah. “Rasio listrik kita kurang. Jadi, kuenya perlu ditambah, bukan mengakuisisi kue yang ada,” katanya.

Panas bumi juga diyakini dapat memangkas 70 persen beban biaya operasional pembangkit PLN. Alasannya, biaya operasional pembangkit listrik panas bumi setara dengan pembangkit listrik tenaga gas, tetapi tetap kalah bila dibandingkan dengan pembangkit batu bara.

Selain itu, Komaidi juga menyoroti performa kinerja keuangan PLN yang tahun ini berpotensi mengalami selisih kerugian akibat tidak disetujuinya rencana pencabutan subsidi pelanggan listrik 900 VoltAmpere (VA). “Potensi kerugian dari selisih laba seiring persetujuan subsidi. Itu bisa mencapai Rp15 triliun-Rp25 triliun, tergantung PLN melakukan adjustment di sana-sini,” tandas dia.

Menurut ahli geothermal dari Universitas Indonesia (UI) Yunus Daud, domain PLN lebih banyak pada sisi hilir yaitu terkait pembangkitan, transimisi, dan distribusi, bukan pada sisi hulu geothermal yang lebih banyak pada persoalan eksplorasi. “Karena waktu mulainya belakangan, maka mereka belum kokoh dan akan menghadapi kendala SDM dan teknologi,” kata Yunus.

Sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan PLN agar fokus saja pada pembangunan pembangkit dan transmisi. “Untuk geothermal, ada risiko kegagalan yang harus diperhitungkan, sama seperti di migas sehingga kompetensinya ada di Pertamina,” kata Jusuf Kalla saat membuka acara Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2016, Rabu (10/8).

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Arbie Marwan