Tanya sinis itu dilontarkan teman saya saat membaca berita tentang acara Penanda-tanganan SPA (Sales Purchase Agreement) secara daring antara Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Sarir dengan Regional Director CSL (Chevron Standard Limited) Jennifer Ferratt untuk pembangkit listrik NDC (North Duri Cogeneration) 300 MW MCTN (Mandau Cipta Tenaga Nusantara) yang dilaksanakan pada 6 Juli 2021.
Teman saya bahkan mengatakan penandatanganan SPA itu acara terkonyol dan menjengkelkan, bahkan memalukan di era Pemerintahan Presiden Jokowi yang terkenal hanya berfikir menegakkan supremasi negara kita terhadap perusahaan asing maupun PMA yang selama berpuluh tahun telah menikmati kekayaan negara kita secara tidak fair bahkan serakah.
Menurut hemat saya, kedongkolan teman saya bisa dan sangat dapat dimaklumi, sebab jika semua pihak mau dengan serius menindak lanjuti temuan BPK RI tahun 2006, seharusnya pembangkit NDC 300 MW itu akan menjadi barang milik negara dan negara tidak dirugikan setidak tidaknya sebesar USD 210 juta dan berpotensi dirugikan USD 1,233 miliar hingga 8 Agustus 2021. Jadi tidak perlu ada SPA, tidak perlu keluar duit yang konon seharga USD 45 juta belum lagi untuk bayar konsultan.
Tentunya, CSL sebagai pemegang saham 95 % dan PT Nusagalih Nusantara 5% pemegang saham PT MCTN sambil tertawa menyaksikan adegan penandatanganan SPA itu.
Memang aneh bin ajaib, pejabat-pejabat yang berwenang bahkan harusnya berkewajiban menindak lanjuti temuan BPK itu malah telah melakukan pembiaran, bahkan hemat saya malah ada yang justru mengukuhkan perbuatan melawan hukum yang sudah terjadi sejak ESA itu dibuat dengan melakukan amandemen, bukan membatalkan ESA yang sejak semula batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan yang berlaku pada saat itu dan saat selanjutnya.
Parahnya lagi, acara penanda tanganan SPA itu dihadiri juga oleh Menteri ESDM, Wakil Menteri 1 BUMN, Kepala SKK Migas dan Dirut PLN beserta jajaran nya dari seluruh tanah air.
Betapa ironisnya jika momen penandatanganan ESA itu dipersepsikan sebagai momen di mana PLN menjadi pahlawan yang bisa menyelesaikan polemik soal pembangkit listrik NDC 300 MW yang memang sangat diperlukan sebagai tulang punggung produksi minyak blok Rokan yang akan dioperasikan oleh PHR (Pertamina Hulu Rokan) mulai 9 Agustus 2021.
PLN lalu dipandang sebagai pihak pemenang yang telah berhasil menaklukan MCTN yang selama ini bersikeras akan menjual pembangkit listrik tersebut melalui mekanisme tender lewat lembaga keuangan JP Morgan dengan nilai USD 300 juta.
Namun, ketika CERI bersama media Katadata dan Dunia Energy pada acara daring SPA menanyakan apakah PLN didalam SPA telah juga dicantumkan siapa yang bertanggung jawab atas semua persoalan persoalan hukum yang telah terjadi maupun yang akan terjadi akibat kontrak antara MCTN dengan CPI, pihak PLN tidak menjawabnya.
Belakangan ada pula keterangan dari direksi PLN Bob Syahril bahwa PLN tidak bisa membuka nilai akusisi karena terikat dengan NDA (Non Disclosure Agreement) dengan pihak MCTN.
Lho, kok, nilai akuisisi yang bersumber dari keuangan negara gak boleh diketahui oleh publik setidaknya komisi VI dan VII DPR selaku mitra pengawas?
Namun, katanya Bob, PLN telah menggunakan 4 konsultan dalam mengkaji rencana pembelian ini, termasuk ada konsultan hukumnya.
Perlu diingat, Bob Sahril pernah sesumbar di media bahwa PLN hanya sanggup menawar USD 30 juta dalam tender tersebut.
Namun, belakangan kami mendengar rumor bahwa PLN akhirnya deal dengan MCTN diharga USD 45 juta, diluar PLN harus membayar honor 4 konsultannya.
Jika semua informasi diatas itu benar, tentu terkesan konyol kebijakan PLN tersebut mengingat ESA yang berdasar Temuan BPK 2006 sangat bertentangan dengan hukum itu.
Lalu apa peran atau saran para konsultan termasuk konsultan hukum yang digunakan PLN dalam proses “negosiasi” soal SPA itu?
PLN Tidak Konsekwen
Menurut Keputusan Menteri ESDM, penetapan tarif dasar listrik ditentukan berdasarkan komponen A, B, C, D dan E:
yaitu:
1) Komponen A : merupakan komponen pengembalian investasi yang angkanya dihitung berdasarkan Capex pembangkit listrik tersebut.
2) Komponen B : biaya Operasi & perawatan yg sifatnya tetap.
3) Komponen C : biaya bahan energi yang digunakan oleh pembangkit berdasarkan KWH (kilowatt hour) listrik yang diproduksi
4) Komponen D : biaya Operasi & perawatan yang sifatnya variable sesuai jumlah KWH listrik yang diproduksi.
5) Komponen E : biaya jaringan transmisi yang dihitung berdasarkan KM jaraknya.
Didalam ESA tarif yang dibayar oleh CPI ternyata tanpa komponen C, karena dalam kontrak CPI – MCTN gas untuk pembangkit di-supply oleh CPI.
Jadi, tarif ESA yg dibayarkan CPI ke MCTN selama ini mengandung komponen A (pengembalian investasi) di dalamnya.
Dengan demikian, jika kontrak berlangsung dari thn 2000 s/d 2021, berarti sudah 21 tahun, pastilah MCTN sudah untung besar.
Sekedar pembanding saja, kontrak IPP (Independent Power Producer/ listrik swasta) dengan PLN saja, setelah 20 tahun pembangkitnya diserahkan ke PLN dan dicatat sebagai asset PLN.
Dengan demikian, jika biaya berdasarkan tarif ESA itu (jikapun dianggap sah) selama 21 tahun menjadi bagian dari cost recovery yang dibayarkan negara setiap tahun nya sekitar USD 80 juta, maka seharusnya pembangkit NDC 300 MW itu otomatis harus menjadi milik negara karena nilai atau harganya telah terbayarkan/terkompensir dalam cost recovery.
Harap diketahui, biaya listrik yang dibayar oleh CPI kepada MCTN per KWH berkisar antara 7 sen sampai 11,85 sen, sudah termasuk biaya gas.
Wajar timbul pertanyaan mengapa PLN mau mengeluarkan uang untuk membelinya padahal harga/nilai pembangkit listrik NDC itu telah terbayar/terkompensir dalam cost recovery yang notabene ditanggung oleh negara?.
Rawan Digugat
Semulanya, MCTN beranggapan tak perlu harus izin KESDM & SKK Migas untuk melakukan tender pembangkit listrik tersebut, kacaunya lagi pihak SKK Migas mengamini perbuatan MCTN, tidak melarang, padahal SKK Migas dengan kewenangan yang luar biasa dari negara untuk mengendalikan seluruh KKKS, bisa mencegah sikap kepala batu MCTN itu.
Barulah kemudian pejabat Kementerian ESDM dan SKK Migas tersentak sadar dari tidurnya, yakni setelah Direktur Piutang Negara dari Ditjen Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Lukman Efendi menyampaikan informasi lewat media brifieng (28/5/2021) bahwa DJKN telah mengirim surat kepada KESDM, SKK Migas dan CPI, agar mereka berhati hati dalam mengambil keputusan pengalihan aset negara di blok Rokan, sesuai Permenkeu nmr 140/PMK.06/2020.
Lukman selanjutnya menegaskan, bahwa di bawah pembangkit listrik itu merupakan tanah milik negara oleh karenanya setiap perbuatan hukum disana harus seizin Menteri ESDM sebagai perwakilan negara.
Berkat pesan Lukman itulah, KESDM dan SKK Migas lalu “melunakkan” MCTN untuk meninggalkan proses tender di JP Morgan agar mau bernegosiasi dengan PLN.
Tentunya, pengalihan proses tender ke negosiasi itu bisa membuka peluang digugat oleh kompetitor PLN jika telah dirugikan dalam proses tender yang terlanjur sudah dijalankan tetapi kemudian diubah menjadi negosiasi ini.
Temuan LHP BPK 2006
Sebagaimana telah berulang kali dibahas dan diberitakan, kelahiran pembangkit MCTN menurut LHP BPK 2006 selain bertentangan dengan hukum, juga telah merugikan negara selama 20 tahun.
Di dalam LHP BPK RI tahun 2006 itu jelas dikatakan bahwa ESA (Energy Service Agreement) antara CPI dengan PT MCTN pada 1 Oktober 1998 terkait pembangkit NDC Cogen 300 MW adalah cacat hukum.
Meskipun sebelum, sudah ada persetujuan dari Pertamina BPPKA pada 27 Maret 1997 kepada PT CPI, tetapi dalam pelaksanaan melanggar peraturan yang ada.
Sayangnya, temuan LHP BPK RI tahun 2006 itu tidak ditindak lanjuti oleh kepala BP Migas dan semua penegak hukum saat itu hingga saat BP Migas berubah menjadi SKK Migas setelah putusan Makamah Konstitusi pada13 November 2012, dan juga tidak ditindak lanjuti oleh SKK Migas.
Celakanya lagi, menurut Sekretaris SKK Migas Ir Yunus Taslim pada kami ( 25 /04/2021) bahwa temuan BPK itu telah dihapus oleh pejabat BPK pada tahun 2014, dengan alasan pertimbangan demi kepentingan kepastian operasi dan produksi.
Akan tetapi, ketika kami mintakan konfirmasi kepada Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna pada 26 April 2021 melalui surat elektronik, apakah informasi dari pejabat SKK Migas itu benar? Jika benar apa landasan hukumnya? Karena fakta tidak bisa dihapus oleh lembaga apapun dinegeri ini, kecuali diproses secara hukum ke pengadilan untuk kepastiannya, Ketua BPK tidak menjawab apapun, meskipun WA kami sudah dibaca dengan tanda tercontreng dua warna biru.
Bukankah temuan BPK tahun 2006 itu sangat mengagumkan dan patut diapresisasi oleh semua pihak yang mencintai Negeri ini, bahwa sejak proses pembuatannya ESA itu sudah melanggar KEPRES nomor 16 tahun 1994 dan Buku Pedoman Tata Kerja BP Migas nomor 077 Tahun 2000 Bab II Butir A1, yakni harus dengan mekanisme tender, bukan dengan penunjukan langsung kepada MCTN yang terafiliasi dengan PT CPI sendiri, sehingga terjadi related party transaction atau praktek transfer pricing.
Krusialnya, sampai akhir pemeriksaan, 2 Maret 2006, Tim BPK belum mendapat hasil analisa atau perhitungan yang mendasari keputusan PT CPI untuk tindak membangun sendiri pembangkitnya, tetapi melalui PT MCTN.
Menanti Sikap Penegak Hukum
Dari temuan temuan yang ada terutama oleh BPK itu, jelas dan terang benderang bahwa ESA antara PT CPI dengan MCTN sarat perbuatan melawan hukum dan ada kerugian negara menurut LHP BPK RI tahun 2006, sehingga sangat mengindikasikan adanya kemungkinan tindak pidana korupsi baik bagi pihak yang membuat ESA maupun yang melanjutkan isinya.
Tindak pidana korupsi bukan delik aduan, sehingga tanpa dilaporkan pun, seharusnya penegak hukum berlomba lomba menelisiknya sebegitu adanya LHP BPK 2006 itu.
Pertanyaan penutup adalah, mengapa penegak hukum diam saja?
Cum tacent, Patria
Clamant….Saat anda diam, Tanah Air berteriak!
Oleh:
Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)
Artikel ini ditulis oleh:
A. Hilmi