Jakarta, Aktual.com – Berbeda dengan umumnya Boss BUMN, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Pesero Sofyan Basir berani terus terang mengungkapkan di publik bahwa PLN mengalami kerugian hingga mencapai Rp. 6.49 triliun pada semester I/2018. Bandingkan dengan periode sama pada 2017, PLN masih mampu meraub laba bersih mencapai sebesar Rp 510,17 miliar.
Kerugian yang diderita PLN itu sesungguhnya bukan disebabkan oleh penurunan pendapatan dalam 6 bulan ini, melainkan lebih disebabkan oleh membengkakaan Harga Pokok Penyediaan (HPP) yang membebani PLN. Masalahnya, Manajemen PLN tidak kuasa untuk menurunkan beban HPP, karena pembengkaan HPP itu dipengaruhi oleh variabel eksternal yang hampir tidak dapat dikontrol oleh manajemen PLN
Kendati PLN mentaati kebijakan Pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik terhitung sejak Januari 2018, namun pendapatan PLN selama 6 bulan terakhir masih meningkat pesat. Penjualan setrum mengalami peningkatan dari sebesar Rp 57,53 triliun pada kuartal I/2017 naik menjadi Rp 62,91 triliun pada kuartal I/2018. Pendapatan penambahan pelanggan juga mengalami peningkatan dari Rp 1,62 triliun pada kuartal I/2017 naik menjadi Rp 1,77 triliun pada periode sama 2018. Demikian juga dengan pendapatan lain-lain meningkat yang mencapai sebesar Rp 387,65 miliar pada semester I/2018 lebih besar dibanding semester I/2017 sebesar Rp. 326,49 miliar.
Namun, peningkatan pendapatgan yang signifikan itu ternyata tidak mampu menutup pembengkakan biaya usaha, terutama peningkatan HPP listrik yang melambung tinggi. Kenaikan HPP listrik PLN itu dipengaruhi oleh beberapa variabel, di antaranya: harga energi dasar, harga pembelian listrik dari Independent Power Plant (IPP), pelemahan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS), dan Inflasi. Dalam waktu bersamaan, hampir semua komponen energi dasar, BBM, Gas, Batu Bara, dan Energi Baru Terbarukan (EBT), hampir bersamaan mengalami kenaikan secara signifikan. Sedangkan kurs rupiah mengalami pelemahan terhadap dollar AS, meski inflasi cenderung stabil.
Proporsi bauran energi dasar pembangkit listrik PLN hingga saat ini meliputi: BBM 5,81%, Gas 24,82%, Batu Bara 57,22% dan EBT 12,15%. Kendati proporsi penggunaan BBM sebagai energi dasar sudah jauh berkurang, namun meroketnya harga minyak dunia yang mencapai US$ 69 per barrel semakin memberatkan beban HPP listrik. Dampaknya, komponen biaya BBM dan gas meningkat dari Rp 27,66 triliun pada semester I/2017 naik menjadi Rp 33,52 triliun pada periode sama 2018.
Demikian juga dengan kenaikan harga Batu Bara dunia yang mencapai sebesar US$ 96 per ton sangat membebani HPP Listrik. Memang Pemerintah sudah menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) harga Batu Bara yang dibeli PLN sebesar US$ 70 per ton terhitung 1 Maret 2018, sehingga PLN bisa menekan biaya pembelian Batu Bara hingga US$ 20-30 per ton. Namun, penghematan itu tidak mampu menutupi beban kenaikan biaya energi dasar lainnya terhadap HPP listrik. Biaya pembelian tenaga listrik dari IPP juga meningkat dari Rp 15,15 triliun pada semester I/2017 naik menjadi Rp 18,14 triliun pada periode sama 2018.
Variabel inflasi memang masih terkendali dalam 6 bulan terkahir rata-rata mencapai sebesar 3,26% yoy, tetapi dalam periode sama kurs rupiah semakin melamah hingga mencapai Rp. 14,463 per dollar AS. Pelemahan rupiah itu sangat membebani HPP Listrik lantaran sebagian besar procurement pembangkit listrik PLN dibeli dengan menggunakan kurs US Dollar, sedangkan pendapatan PLN semuanya dalam kurs Rupiah.
Peningkatan harga energi primer dan kenaikan biaya pembelian listrik dari IPP, serta pelemahan rupiah itulah yang menjadi variabel utama yang membengkakan beban HPP listrik, sehingga menyebabkan PLN mengalami kerugian pada kuartal I/2018 sebesar Rp 6,49 triliun. Masalahnya, semua variabel itu merupakan varibel eksternal yang tidak bisa dikontrol (uncontrollable), sehingga mustahil bagi manajemen untuk menurunkan beban HPP listrik. Upaya satu-satu yang masih bisa dilakukan oleh manajemen adalah melakukan efisiensi terhadap biaya operasional, biaya tranmisi, dan biaya distribusi.
Keberanian Direktur Utama PLN mengungkap di muka publik secara terus terang terkait kerugian Semester I/2018 yang diderita PLN patut dihargai. Pasalnya, tidak hanya menunjukan komitmen adanya transparasi sesuai dengan prisip-pinsip governance, tetapi juga mengingatkan Pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang membantu PLN dalam menekan kerugian tersebut. Namun, tidak hanya saat menderita kerugian saja, PLN juga harus konsisten untuk menyampaikan ke publik manakala PLN meraub keuntungan.
Oleh: Fahmy Radhi (Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata-Kelola Migas)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta